
Dalam pemahaman saya saat ini, menulis adalah sebuah kemampuan yang terus perlu diasah. Kalau satu hari saja tidak menulis (manual atau digital) maka pikiran terasa beku. Memang dalam beberapa waktu belakangan ini saya belum betul-betul rutin menulis, menuangkan pikiran-pikiran yang bergulung di dalam kepala. Ada pepatah Islam yang mengatakan “ikatlah ilmu dengan menuliskannya”. Rasa-rasanya benar, karena dengan menulis kita dilatih untuk menuangkan pikiran secara lebih tertata dan melatih kita untuk mengungkapkan gagasan secara verbal.
Ada masa-masa di mana saya mengalami sakit kepala karena terlalu banyak hal yang harus dipikirkan. Pernah suatu kali saya memeriksakannya ke klinik, jangan-jangan ada gejala penyakit dalam. Setelah saya diobservasi secara medis, kemudian berdiskusi cukup lama tentang berbagai kegiatan yang dilakukan, ternyata migrain itu semacam efek dari stres. Jadi, ternyata otak saya ada masa overloadnya juga. Perlu sesekali istirahat. Tetapi pikiran itu terus bekerja, tidak bisa diistirahatkan, kecuali tidur. Kadang tidur pun tidak pulas karena pikiran-pikiran terus membayangi di dalam kepala.
Jika itu sudah terjadi, seringkali saya menuliskan berbagai hal yang ada di pikiran itu. Mulai dari bentuk catatan-catatan berupa pointer, hingga mindmap yang sangat absurd. Bisa juga berupa narasi panjang dalam beberapa halaman yang pada intinya menuangkan segala “kegelisahan” yang ada dalam pikiran, dan gagasan-gagasan yang masih abstrak. Ternyata bagi saya cara itu kurang lebih bisa mengurangi isi kepala saya yang crowded tak karuan. Maka saya menganggap bahwa menulis bisa menjadi alternatif terapi psikologis. Setidaknya untuk saya sendiri.
Dengan membiasakan menulis sebagai cara untuk mengungkapkan gagasan yang abstrak menjadi verbal, tentu menjadi sebuah keasyikan tersendiri. Selain gagasan-gagasan itu bisa dituangkan ke dalam bentuk tulisan, secara tidak disadari kemampuan menulis kita pun berangsur-angsur mengalami peningkatan. Memang, tidak tiba-tiba saja kita menjadi seorang penulis profesional, tetapi paling tidak upaya kita menulis sehari-hari sudah tentu akan membantu membuka jalan menjadi penulis yang lebih baik.
Dalam masa sekarang sangat marak digunakan akal imitasi (AI) yang bisa dilihat dari dua sisi kemanfaatannya. Pertama, tentu dapat mempercepat analisis dan pekerjaan yang memerlukan tahapan kompleks, seperti menulis narasi itu sendiri. Namun, di sisi kedua, jika terlalu mengandalkan akal imitasi di dalam sebagian besar pekerjaan, khususnya menulis, saya kira akan muncul suatu efek negatif bagi penggunanya. Istilah brain rot (busuk otak) yang populer akibat konsumsi konten media sosial yang tidak terukur sepertinya belakangan dapat berlaku juga bagi orang-orang yang terlalu bergantung pada akal imitasi untuk membuat tulisan. Jika terlalu mengandalkan bantuan akal imitasi untuk menulis teks sederhana saja, lambat laun kemampuan menulis kita akan menurun.
Hal itu sungguh-sungguh saya rasakan. Dalam beberapa bulan terakhir, saya memiliki kecenderungan untuk menggunakan akal imitasi dalam mengerjakan tulisan. Namun lama-lama saya meras bahwa otak saya mulai lambat dalam mengolah gagasan untuk dituangkan menjadi tulisan. Gejala yang paling kelihatan adalah rasa malas ketika akan menulis. Maka, saya harus mulai menyadarkan diri untuk kembali menggunakan kemampuan akal asli. Mengandalkan akal waras untuk menulis.
Saya akan coba dalam satu bulan ini untuk terus menulis artikel blog one day one post (satu hari satu pos). Alih-alih terlalu banyak mengkonsumsi konten media sosial dan berselancar internet tak jelas, saya harus menguatkan tekad kembali untuk menuangkan pikiran. Jika terlalu banyak menerima informasi, justru pikiran kita tidak akan bisa menyimpan dan mengolah informasi itu dengan baik. Yang terjadi malah stres. Nah, dengan menulis, harapannya adalah informasi acak yang saya dapatkan di dalam pikiran bisa sedikit-sedikit mulai secara teratur dikeluarkan. Agar pikiran saya memiliki ruang untuk memproses informasi baru.
Yaa, analoginya seperti komputer yang nge-lag karena memori dan hardisk penuh. Kalau tidak dikosongkan isi file-nya, malah nge-hang. Selain saya maintain laptop dan data saya secara teratur, sepertinya perlu juga me-maintain sistem otak agar lebih segar. Jangan sampai nge-hang, sampai-sampai perlu diinstal ulang.

Pemerhati sejarah dan budaya Cianjur, pembaca naskah Sunda kuno, pengulik musik tradisi. Pengguna setia Linux.