Selama membaca sumber-sumber literatur tradisional tentang Cianjur, ada saja hal “baru” yang ditemukan. Dikatakan “baru” karena narasi ini mungkin belum pernah atau belum umum diketahui oleh masyarakat Cianjur. Salah satunya tentang “ngaos, nyanyi, lentong, mamaos, dan silat Cianjur”.
Lho? bukankah moto Cianjur itu “Ngaos, Mamaos, dan Maénpo”?
Naah, justru di sini perbedaannya. Dalam sebuah naskah berjudul Babad Cianjur yang berupa ringkasan peristiwa-peristiwa kronologi “sejarah” Cianjur baik dari tuturan lisan, babad maupun catatan sejarah masa Belanda, ada sebuah sub judul “Babad Cikundul” yang rupanya merupakan ringkasan atau penulisan ulang dari wawacan Babad Cikundul.
Naskah Babad Cianjur ditulis oleh Nyai Mas Syarifah Didoh tahun 1974 yang waktu itu tinggal di Gang Pulo, Cianjur. Keterangan selengkapnya mengenai sumber naskah ini bisa dibaca di sini: Babad Cianjur Karya Nyai Mas Syarifah Didoh.
Ringkasan Babad Cikundul di dalam naskah Babad Cianjur ini ditulis ulang oleh Nyai Mas Syarifah Didoh (NMSD) ke dalam bentuk prosa, bukan wawacan (puisi pupuh). Jika dibandingkan dengan teks versi wawacan, Babad Cikundul versi NMSD agak berbéda. Selain berupa ringkasan, juga ada beberapa keterangan tambahan seperti asal-usul nama tempat (toponimi), penjelasan peristiwa, dan pembagian babak dengan subjudul.
Oke, sekarang kita bahas mengenai ngaos, nyanyi, lentong, mamaos, & silat Cianjur yang disebutkan dalam teks Babad Cikundul versi NMSD. Bagian ini muncul dalam bagian teks yang mengisahkan Dalem Dicondre, atau Radén Aria Wiratanu III. Di dalamnya disebutkan bahwa negeri Cianjur sedang mengalami masa keemasan, sandang pangan tercukupi, rakyat makmur sejahtera.
Kemudian dikisahkan bahwa selain pandai dalam hal agama, berbagai hal lainnya juga disenangi oleh para ménak, sehingga Cianjur pada waktu itu terkenal dengan berbagai ciri khasnya, yaitu ngaos, nyanyi, lentong, mamaos, & silat.
Berikut ini kutipannya:

[18] … kacarioskeun dayeuh Cianjur, tambih lami tambih ramé baé, langkung seueur jalmi-jalmi anu darongkap ti jauhna ngadon bubuara. Nya kitu deui para ménakna éstu perlénté begér iyasa sasauran, kana sagala rupi teu aya kapétolanana. Dugi ka kaceluk ka awun-awun, kawentar ka mana-mana. Sanés wungkul dina sual bagbagan agama, ogé sagala kasenianana henteu kakantun, dugi ka Cianjur téh kasohor: ngaos, ngaos Cianjur; nyanyi, nyanyi Cianjur;lentong, lentong Cianjur; mamaos, mamaos Cianjur; silat, silat Cianjur; malih henteu [19] kakantun aya paribasa: “mun kasép, kasép Cianjur; mun geulis, geulis Cianjur; mun mancing, mancing Cianjur; mun langlayangan, langyangan Cianjur; pantes kituna téh palinter ku ‘ilmu, arageung ku pangaruh, margi aya kokocoran ménak ti Gunung Gedé …
“Babad Cikundul”, Nyai Mas Syarifah Didoh (1974)
Terjemahan:
[18] … dikisahkan kota Cianjur, semakin lama semakin ramai saja, bertambah banyak orang-orang yang berdatangan dari kejauhan untuk merantau. Demikian juga para menaknya, sungguh banyak budi tingkahnya, terhadap berbagai hal tidak ada kekurangannya. Sehingga sampai disebut-sebut oleh orang jauh, terkenal ke mana-mana. Bukan hanya dalam soal perihal agama, juga segala kesenian tidak tertinggal, hingga Cianjur tersohor: ngaos, ngaos-nya Cianjur; nyanyi, nyanyinya Cianjur; lentong, lentong-nya Cianjur; mamaos, mamaos-nya Cianjur; silat, silatnya Cianjur; bahkan tidak [19] tertinggal juga ada peribahasa: “kalau tampan, ketampanan Cianjur; kalau cantik, kecantikan Cianjur; kalau memancing, mancingnya orang Cianjur; kalau layangan, layangannya Cianjur; pantas saja seperti itu, pintar oleh Ilmu, besar oleh pengaruh, sebab ada keturunan menak dari Gunung Gede …
“Babad Cikundul”, Nyai Mas Syarifah Didoh (1974)
Dari penggalan teks tersebut, sepéndék pengetahuan saya dalam literatur tradisional terkait “sejarah” Cianjur, baru di dalam “Babad Cikundul” versi NMSD inilah yang menggabungkan berbagai ciri khas kesenian dan sifat keistiméwaan Cianjur sehingga dikenal oleh orang-orang dari daerah lainnya.
Namun, tentu saja bukan “tiga pilar” (ngaos, mamaos, maénpo) yang muncul. Justru ada lima aspék yang disebutkan: ngaos, nyanyi, lentong, mamaos, & silat Cianjur. Yang menarik adalah nyanyi dibédakan dengan mamaos, kenapa tidak cukup mamaos saja? Selain itu, alih-alih menyebutkan maénpo, seni bela diri yang disebutkan justru silat saja. Sedangkan lentong atau “lagu dan nada bicara” dalam bahasa Sunda orang Cianjur sampai sekarang memang sudah menjadi pengetahuan umum, sebagai lentong yang dianggap paling halus.
Paling tidak, dari teks tersebut kita mendapatkan sedikit petunjuk — yang sementara ini bisa dikatakan sebagai sumber yang paling tua — tentang penggabungan istilah-istilah “khas” dari Cianjur. Sebab, di dalam Babad Cikundul versi wawacan ataupun naskah-naskah Dalem Pancaniti (R.A.A. Kusumaningrat) di Leiden, tidak ada penyebutan gabungan seperti itu.
Wallahu ’alam bisshawab.
Serpong, 13 Januari 2025

Pemerhati sejarah dan budaya Cianjur, pembaca naskah Sunda kuno, pengulik musik tradisi. Pengguna setia Linux.