Beberapa waktu lalu di Cianjur ada wacana untuk mencanangkan senjata condre sebagai senjata khas daerah Cianjur. Tapi apakah boleh memiliki atau menggunakan senjata condre? Bagi keturunan Bupati Cianjur, khususnya trah dari Dalem Dicondre, justru hal itu sangat dilarang (Bhs. Sunda: buyut). Pasalnya, dalam naskah ‘Sejarah Aria Wangsa Goprana’ versi Bahasa Melayu bertiti mangsa 1857 yang ditulis oleh R.A.A. Kusumaningrat (Dalem Pancaniti) tertulis begini:
[8] … halnja itoela regent die brie nama Arieja die Tjondree, sebab ter boenoeh olee sendjata ijang ietoe laloe mengeloearken perkatahan, dia berkata “dengerken hee sekalian anak tjoetjoe darie pada toeroenankoe semoeahnja itoe, hinga darie sekarang kahadepan boejoetlah beristrie oetawa mengambil prempoewan darie pada orang Tjikembar, lagih poen boejoetlah mempoenjai oetawa berpakee itoelah sendjata ijang bernama Tjondree.” Maka itoelah perkatahan darie nenee moijang itoe hinga dari sitoe dateng sekarang sekalian anak tjoetjoe koempienja ijalah semoeahnja itoe bertingal boejoet beristrie oetawa mengambil [9] prempoewan darie orang tjikembar, lagiepoen mempoenjai oetawa berpakee sendjata ijang bernama tjondree ietoe poen boeijoet djoewa doemikiejanlah adanja.
Kesalahan Tafsir Bayu Suryaningrat
Di halaman 117 buku Sajarah Cianjur Sareng Raden Aria Wira Tanu Dalem Cikundul Cianjur (1982) Drs. Bayu Suryaningrat memberikan catatan kaki (b.) yang mengisahkan hal serupa, mungkin sumbernya dari kisah yang ditulis oleh Dalem Pancaniti juga (tampaknya berasal dari versi terjemahan bahasa Belanda) tetapi kutipannya salah, sehingga keterangan-keterangan berikutnya yang merujuk pada tulisan Bayu Suryaningrat ini menjadi ikut keliru. Ia menyebutkan bahwa setelah peristiwa tragedi itu seluruh keturunan Dalem Dicondre harus menggunakan senjata ‘condre’.
“Para sepuh sasauran kieu: ‘Darengekeun barudak, incu, buyut jeung kabeh katurunan, maraneh poma ulah nikah ka urang Cikembar, jeung maraneh salawasna kudu make pakarang condre'” (Suryaningrat, 1982:117).
Nah, karena adanya perbedaan tafsir yang bertolak belakang dari sumber primernya, maka kiranya jika wacana untuk menjadikan “condre” sebagai senjata khas Cianjur tetap digulingkan, sepertinya perlu dilakukan peninjauan ulang dari sumber-sumber literatur yang lebih mendalam. Jangan sampai justru merumpak (melanggar) tradisi itu sendiri.
Tunggu publikasi edisi lengkapnya 🙂
Cag.
Pemerhati sejarah dan budaya Cianjur, pembaca naskah Sunda kuno, pengulik musik tradisi. Pengguna setia Linux.