
Dalam proses pembacaan ulang sumber-sumber sejarah perkembangan Cianjur, banyak nama tokoh yang saat ini kurang begitu dikenal oleh masyarakat Cianjur. Salah satu tokoh yang sedikit diketahui namanya adalah Aria Yuda Manggala. Nama tersebut terekam dalam cerita rakyat, baik berupa sumber lisan maupun manuskrip. Kisah-kisahnya memiliki keterkaitan, walaupun tidak tampak begitu jelas. Sumber lain yang mencatat nama tersebut adalah Daagh Register (register harian) kastil Batavia (VOC). De Haan (1910-1912) menyebutkan kembali nama tersebut dalam bukunya Priangan. Tulisan ini mencoba untuk mengurai beberapa keterangan terkait Aria Yuda Manggala berdasarkan sumber-sumber tersebut.
Tuturan Lisan; Amung Sutarya
Nama “Aria Yuda” diketahui dalam cerita lisan oleh sebagian sesepuh di Cibalagung. Ia dianggap sebagai salah satu di antara para leluhur pendiri Kadaleman Cibalagung. Kisah demikian, misalnya seperti yang disampaikan oleh Bapak Amung Sutarya, di desa Kademangan, Kecamatan Mande. Ia mengaku masih merupakan keturunan keluarga para pendiri CIbalagung. Tuturan kisah Amung tersebut pernah didokumentasikan oleh Luki Muharam (2014) dalam sebuah artikel berbahasa Sunda pada blognya. Berikut ini disampaikan kembali ringkasannya.
Amung Sutarya, yang mengaku sebagai keturunan Aria Yuda, memberikan penjelasan bahwa Aria Yuda berasal dari Cibalagung dan merupakan pendiri pemerintahan Cianjur. Ia memiliki bukti otentik berupa naskah dari Kasultanan Kasepuhan Cirebon, yang ditulis dalam huruf Jawa dan memiliki stempel Cirebon. Amung juga memiliki peninggalan lain dari Aria Yuda, termasuk senjata dan barang bersejarah, meskipun beberapa sudah tidak ada di tangannya. Ia menjelaskan bahwa pengambilan foto barang-barang tersebut tidak dapat dilakukan sembarangan dan memerlukan izin serta sesaji untuk arwah Aria Yuda.
Dikatakan bahwa Aria Yuda memiliki kesaktian dan pernah diminta oleh Sultan Cirebon untuk membantu dalam peperangan. Ketika pulang dari Cirebon, Aria Yuda mampu menghentikan arus Citarum yang deras. Untuk mengembangkan Cibalagung, ia bermeditasi dan mendapatkan petunjuk untuk membawa badak putih dari Cirebon ke Cibalagung, di mana badak tersebut akan menunjukkan tempat yang harus dijadikan pemukiman. Setelah berhasil mengalahkan badak yang mengamuk, Aria Yuda diakui oleh Sultan Cirebon, yang memberinya piagam untuk mendirikan pemukiman di Cibalagung.
Setelah perjalanan pulang, Aria Yuda memberi nama pada daerah yang dilalui. Badak putih tersebut membawa Aria Yuda ke Cianjur, di mana ia kemudian membangun pemerintahan Cianjur. Ketika putranya belum dewasa, kepemimpinan diserahkan kepada wakilnya, Dalem Cikundul. Amung menyarankan bahwa informasi ini penting untuk diteliti lebih lanjut oleh sejarawan, terutama dengan adanya bukti yang telah ditemukan oleh Drs. Atja.
Manuskrip Dalem Pancaniti; UB Leiden
Sumber tertulis yang paling tua yang menyebutkan nama “Arya Yuda Manggala” adalah manuskrip koleksi Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda nomor Or. 2024. Naskah ini ditulis oleh R.A.A. Kusumaningrat atau yang dikenal sebagai Dalem Pancaniti tahun 1857, Di dalam naskah ini ada sebuah teks berujudul Carios Ariya Wangsa Goprana di samping beberapa teks lainnya. Keterangan mengenai kisah tersebut didapatkan oleh Dalem Pancaniti dari cerita orang tuanya serta para leluhurnya.
Dalam naskah itu dikisahkan bahwa Aria Wiratanu Datar (Wira Tanu I) pindah dari Ciburang tanah Talaga ke Sagara Herang, tanah Karawang, bersama saudaranya Aria Yuda Manggala. Setelah beberapa waktu tinggal di sana, kemudian Aria Wiratanu Datar pindah dari Sagara Herang ke Cibalagung bersama anak istri dan saudara-saudaranya, termasuk Aria Yuda Manggala dan 30 orang pengikutnya. Aria Wiratanu Datar kemudian mendirikan sebuah kampung kecil di seberang sungai Cikundul arah selatan, lalu diberi nama kampung Cijagang hingga kemudian menetap di sana.
Keterangan ini cukup menarik dan menunjukkan bahwa “Arya Yuda Manggala” pernah hidup dalam masa yang sama dengan “Aria Wira Tanu (I)”. Namun, tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai tokoh ini di dalam naskah Dalem Pancaniti, sehingga mengenai hidupnya belum mendapatkan petunjuk lebih lanjut.
Catatan VOC – Belanda; De Haan – Bayu Suryaningrat
Keterangan ini semula saya baca dalam buku Sajarah Cianjur Sareng Raden Aria Wira Tanu Dalem Cikundul Cianjur yang disusun oleh Bayu Suryaningrat (1982:86). Agak menarik sebetulnya, bahwa di dalam buku itu disebutkan nama “Yuda Nagara” yang merupakan adik dari Wira Tanu I. Belum dapat dipastikan apakah “Yuda Nagara” merupakan sebutan lain dari “Yuda Manggala”, ataukah kedua nama itu merupakan individu yang berbeda?
Adapun mengenai kisah “Yuda Nagara” berawal dari peristiwa kepindahan para putra Wira Tanu I dari Sagaraherang ke Cibalagung yang disertai oleh Yuda Nagara, kemudian mereka tinggal di Pasir Wira Tanu.
“Di payun parantos kasebat-sebat, yén para putra Wira Tanu I téh ngalihna ti Sagarahérang ka Cibalagung disarengan ku Yudanagara (rai Wira Tanu I), teras dumuk di Pasir Wira Tanu. Garis ageung riwayat Wira Tani I tiasa diaos dina bab ti payun”
Perihal yang menarik adalah Bayu Suryaningrat memberikan catatan kaki di halaman yang sama. Keterangan ini mungkin didapatkan dari tulisan De Haan. Lengkapnya sebagai berikut:
“Yudanagara teh salahsawios putra Aria Wangsa Goparana kénéh, rai Wira Tanu I, anu calik di Sagarahérang. Malih numutkeun wartos ti Sagarahérang anjeunna ngagentos rama janten Dalem Sagarahérang. Numutkeun de Haan mah, Yudanagara téh tiasa janten anu kasebat Ki Mas Yuda ti Cijera (Cijera perenahna wétaneun Cianjur). Ki Mas Yuda kantos calik di Talaga dibawah ku Sultan Sepuh. Dina D. 8 Februari 1690 kantos mundut supados dijantenkeun umbul di CIbalagung, nanging teu disaluyuan ku VOC. Anu janten mah rupina putrana dina taun 1705.
Numutkeun Babad Cibalagung sareng Cikundul, para putra Wira Tanu I ngaralihna ti Cikundul (Cijagang) sanés ti Sagarahérang ka Cibalagung saparantos Wira Tanu I pupus. Naon margina ngaralihna bet ka CIbalagung? Rupina baé wiréhna Cikundul parantos ngawitan narikolot, sawangsulna Cibalagung sareng Cikalong beuki majeng sarta mekar.”
Terjemahan:
“Yudanagara masih merupakan salah seorang putra Aria Wangsa Goparana, adik dari Wira Tanu I, yang berkedudukan di Sagarahérang. Malah menurut kabar dari Sagarahérang ia menggantikan ayahnya menjadi Dalem Sagarahérang. Menurut de Haan, Yudanagara boleh jadi yang disebut sebagai Ki Mas Yuda ti Cijera (Cijera letaknya sebelah timur CIanjur). Ki Mas Yuda pernah berkedudukan di Talaga di bawah kekuasaan Sultan Sepuh. Di dalam D. 8 Februari 1690 ia pernah meminta untuk dijadikan umbul di Cibalagung, tetapi permintaannya itu ditolak oleh VOC. Sepertinya yang menjadi umbul di sana yaitu putranya, pada tahun 1705.
Menurut Babad Cibalagung dan Cikundul, para putra Wira Tanu I pindah dari Cikundul (Cijagang) bukan dari Sagaraherang ke Cibalagung setelah Wira Tanu I wafat. Apa sebab mereka pindah ke Cibalagung? Tampaknya karena Cikundul telah mulai ditinggalkan, sebaliknya Cibalagung dan Cikalong semakin maju dan berkembang.”
Bayu Suryaningrat (1982:31) mencatat silsilah keturunan Aria Wangsa Goparana yang wafat pada abad ke-17. Aria Wangsa Goparana memiliki putra sebagai berikut:
- Jayasasana; setelah dewasa menjadi Dalem, menggunakan nama Wira Tanu
- Wiradiwangsa
- Candramanggala
- Santaan Kumbang
- Yudanagara; disebut juga “Dalem Tumenggung”
- Nawing Candradirana
- Santaan Yudanagara (Suryaningrat, 1982:31); disebut juga R. Santaan Yudamanggala (Suryaningrat, 1982: 153)
- Nyi Murti
Keterangan Bayu Suryaningrat tersebut menimbulkan keambiguan, bahwa nama “Yudanagara” disebutkan untuk dua orang, yaitu sebagai putra kelima Aria Wangsa Goparana yang bergelar “Dalem Tumenggung” dan putra ketujuh yang memiliki nama depan “Santaan Yunagara”. Walaupun demikian, pada diagram pohon silsilah keluarga Wangsa Goparana, Bayu Suryaningrat menuliskan namanya sebagai “R. Santaan Yudamanggala”. Mungkinkah nama yang disebutkan terakhir ini sama dengan “Yuda Manggala” dalam naskah Dalem Pancaniti?
Kekeliruan Pembacaan Bayu Suryaningrat
Dari penelurusan yang lebih seksama terhadap sumber yang digunakan oleh Bayu Suryaningrat didapatkan keterangan yang lebih jelas mengenai siapa “Yudanagara” atau “Yudamanggala” ini. Keterangan yang dimaksud terdapat dalam laporan Ekspedisi Adolf Winkler tahun 1691 ke wilayah Cikalong dan Cibalagung, yang tercatat dalam Bijlage 1691 (De Haan, 1912:172), yaitu dalam catatan kaki nomor 6, sebagai komentar yang cukup panjang terhadap nama Ki Danu Pati.
Untuk memeriksa konteksnya agar lebih jelas, berikut ini disampaikan kembali laporan perjalanan Winkler ketika berkunjung ke Cikalong dan Cibalagung:
(13) Woensdag 5 d°. Van daer weder opgebroken en tegens ’t vallen van den avond op Tsikalon aengekomen en in de negorij Tsibalagon gebleven.
Donderdag 6 d° komen alhier bij malkanderen op Tsibalagon om haer verschillen aen mij bekent te maecken Aria Natta Mangala, Radin Aria Satja Casoema (4), Angabeij Wiran Tanoe en verdere (5) gemene Javaense Hoofden, alle sorterende op en ontrent Tsikalong; eerstelijck Ke Danoe Pattij(6),…
Terjemahan:
(13) Rabu, hari ke-5. Dari sana berangkat lagi dan menjelang malam tiba di Cikalong dan tinggal di desa Cibalagung.
Kamis, hari ke-6, mereka semua berkumpul di Cibalagung untuk memberitahukan perselisihan mereka kepada saya: Aria Nata Mangala, Raden Aria Saca Kusumah (4), Angabehi Wira Tanu, dan kepala-kepala (5) Jawa lainnya yang berasal dari dan sekitar Cikalong; pertama-tama Ki Danu Pati (6),…
catatan kaki nomor 6:
(6) Dit schijnt de door den Sultan benoemde voogd van Wiratanoe, zoodat het hier genoemde getal van 20 tjatjah’s wel diens gansche officieele bedrag zou kunnen zijn, waarmee het hierbeneden § 18 vermelde eijfer van 43 hem onttroonde „gemene mannen” niet noodzakelijk in strijd is. Het schijnt verder, dat Wiratanoe kort vóór 1691 meerderjarig was geworden. Daar mu D. 24 Jan. 1680 een Aria Wiratanoe als Hoofd van Tjiandjoer voorkomt, zal die de vader wezen van den hierbedoelden, dus de Tjikoendoel der inl. berichten. De in de inl. overlevering (Bijdr. 1862 p. 307) vermelde Joodamanggala, broer van Tjikoendoel, die met hem en Tjikoendoe’s kinderen uit Sagaraherang verhuisde naar Tjiblagoeng, kan de „Keeij Maes Jouda in de negorije Tsjidjera” wezen (Tjïdjera, wat O. van Tjiandjoer, aan de spoorbaan), die D. 8Febr. 1690 blijkt cerst in Talaga gewoond en onder Sultan Sepoeh gestaan te hebben en nu zelfstandig te willen wezen en niet onder Tjiblagoeng te willen ressorteeren, wat de Regeer. weigert; D. 27 Febr. 1705 verzoekt „Maas Jouda, p(rovisioner)l Ombol van Tsjebalngon”, om „de absolute qualiteijt van Ombol”, wat toegestaan wordt; dit kan de zoon wezen van den vorigen. In elk geval ziet men dat de inl. opgave, alsof de in 1707 overleden Regent van Tjiandjoer 85 jaar oud zou zijn geworden, heelemaal onjuist is en alleen is bedacht om aan dat regentengeslacht eene zeer onhistorische oudheid te kumnen toekennen. Dat Sultan Sepoeh de vroegere Vorst der Tjiandjoerders was, wordt tegengesproken door eene plaats D. 21 Maart 1685 (zie § 206), waar Sultan Anoem hun opperheer heet; uit hetgeen hierbeneden § 15 verder volgt zou ik opmaken dat dit laatste inderdaad zoo was, want het ís moeielijk aanneembaar dat onder cenzelfden Regent rechtens volk van beide Sultans zou hebben behoord.
Terjemahan:
6) “Ini tampaknya adalah wali yang ditunjuk oleh Sultan untuk Wiratanoe, sehingga jumlah 20 tjatjah yang disebutkan di sini mungkin merupakan jumlah resmi keseluruhan. Jumlah ini tidak harus bertentangan dengan angka 43 pria biasa (gemene mannen) yang disebutkan di § 18 di bawah, yang telah menggulingkannya. Selain itu, tampaknya Wiratanoe telah mencapai usia dewasa tidak lama sebelum tahun 1691.” Karena pada 24 Januari 1680 terdapat seorang bernama Aria Wiratanu yang tercatat sebagai Kepala Cianjur, ia mungkin adalah ayah dari Wiratanu yang dimaksud di sini, yaitu Cikundul dalam berita setempat. Dalam tradisi setempat (Bijdr. 1862, hlm. 307), disebutkan Yudamanggala, saudara dari Cikundul, yang pindah bersama dia dan anak-anaknya dari Sagaraherang ke Cibalagung, mungkin adalah orang yang disebut “Ki Mas Yuda di desa Cijera” (Cijera, di sebelah timur Cianjur, dekat rel kereta api). Menurut D. 8 Febr. 1690, ia dulu tinggal di Talaga dan berada di bawah Sultan Sepuh, tetapi sekarang ingin merdeka dan tidak tunduk pada Cibalagung, yang ditolak oleh pemerintah. Pada 27 Februari 1705, Mas Yuda, pelaksana tugas Umbul dari Cibalagung, meminta “kualitas absolut Umbul”, yang kemudian disetujui; ini mungkin adalah anak dari orang yang dimaksud sebelumnya. Bagaimanapun, terlihat bahwa klaim yang menyebut Regent Cianjur yang meninggal pada 1707 berusia 85 tahun sepenuhnya salah dan hanya dibuat untuk memberikan citra usia yang sangat tidak historis pada dinasti regent tersebut. Bahwa Sultan Sepuh adalah penguasa sebelumnya dari Cianjur dibantah oleh catatan pada 21 Maret 1685 (lihat § 206), di mana Sultan Anom disebut sebagai penguasa mereka. Berdasarkan apa yang disebutkan di § 15 di bawah, saya berpendapat bahwa hal ini memang benar, karena sulit dipercaya bahwa di bawah satu bupati, rakyat akan tunduk pada dua Sultan yang berbeda.
Dalam catatan kaki itu tersebut jelas bahwa De Haan memberikan komentar tentang Yudamanggala, bukan Yudanagara seperti yang dituliskan oleh Bayu Suryaningrat. De Haan pun menyebutkan bahwa perihal Yudamanggala disandarkan pada kisah yang dipublikasikan dalam Bijdragen (maksudnya: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië.) tahun 1862 halaman 307. Dari hasil pemeriksaan terhadap penerbitan yang dimaksud, ternyata isinya adalah terjemahan bahasa Belanda dari kisah bupati Cianjur yang ditulis oleh R.A.A. Kusumaningrat (Dalem Pancaniti) tahun 1857. Dalam kisah itu disebutkan bahwa Yudamanggala merupakan saudara dari (Dalem) Cikundul yang pindah bersamanya dan anak-anaknya dari Sagaraherang ke Cibalagung.
De Haan menduga bahwa Yudamanggala yang dimaksud di dalam kisah itu adalah “Ki Mas Yuda di desa Cijera” (Cijerah?), yang terletak di sebelah timur Cianjur, dekat rel kereta api. Ia juga mengutip catatan D. 8 Februari 1690 yang menyebutkan bahwa “Mas Yuda” dulunya tinggal di Talaga yang berada di bawah kekuasaan Sultan Sepuh, namun ingin merdeka dan tidak tunduk kepada Cibalagung.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kekeliruan dari pembacaan Bayu Suryaningrat dapat dikoreksi. Bahwa yang dimaksud dalam catatan De Haan dalam komentar terahadap laporan Adolf Winkler bukanlah Yudanagara, tetapi Yudamanggala. Boleh jadi tokoh “Aria Yuda” yang dikisahkan Amung Sutarya secara turun-temurun dari leluhurnya adalah “Aria Yudamanggala” yang disebutkan di dalam naskah Dalem Pancaniti dan juga “Ki Mas Yuda” dalam arsip-arsip VOC Belanda abad ke-18.
Referensi
- Haan, F. de (with Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen). (1912). Priangan de Preanger-Regentschappen onder het Nederlandsch Bestuur tot 1811 (Vol. 3). Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen ; ’s-Gravenhage.
- Muharam, Luki. (2014, Mei 11). Sejarah Cianjur: Babad Cianjur. Sejarah Tentang Cianjur. http://sejarahtentangcianjur.blogspot.com/2014/05/babad-cianjur.html
- Surianingrat, Bayu. (1982). Sajarah Cianjur Sareng Raden Aria Wira Tanu Dalem Cikundul Cianjur. Rukun Wargi Cianjur.
- Stockhausen, C.M.F. (1863). Inlandsche Verhalen van den Regent van Tjiandjoer in 1857. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië.
- Kusumaningrat, R.A.A. (1857). Carios Aria Wangsa Goprana. [Manuskrip Or. 2024 Universiteit Bibliotheek Leiden]

Pemerhati sejarah dan budaya Cianjur, pembaca naskah Sunda kuno, pengulik musik tradisi. Pengguna setia Linux.