Saya secara teratur mencari berbagai informasi sejarah Cianjur yang mungkin bisa ditemukan di Internet. Tentu saja, selain mencarinya dari buku dan arsip juga. Penelusuran seperti ini menurut saya penting untuk melacak narasi-narasi sejarah yang mungkin perlu untuk dijadikan bahan diskusi dan menyegarkan penalaran kita.
Nah, hari ini kebetulan saya mendapatkan sebuah berita menarik yang diterbitkan di portal daring Rakyat Priangan, 23 Desember 2023. Judulnya agak panjang “Sejarah Budaya Kuda Kosong di Cianjur, Berawal dari Perayaan Terbebasnya Cianjur dari Pembayaran Upeti kepada Mataram”. Artikel itu ditulis oleh Azhar Fakhru Rijal yang tampaknya bersumber pada keterangan dari wawancara dengan sejarawan Cianjur, Luki Muharam.
Dalam keterangan yang ditulisakannya itu disebutkan mengenai peristiwa pengiriman utusan Cianjur ke Mataram dengan membawa “pesan diplomasi” yaitu cabai, lada, dan beras. Perjalanan dilakukan selama berhari-hari. Pesan itu konon diterima oleh Raja Mataram. Sebagai imbal baliknya, utusan Cianjur yaitu Aria Natadimanggala diberikan tiga buah balasan yaitu seekor kuda, sebilah keris, dan pohon saparantu.
Baiklah, ini bahan diskusinya. Walaupun dalam judul artikel itu disebutkan bahwa Cianjur terbebas dari pembayaran upeti kepada Mataram, tapi di dalam isi tulisannya sendiri tidak disebut-sebut perihal pembebasan upeti ini. Dalam tulisan ini saya belum mau mengomentari soal “pesan diplomasi” yang sebetulnya menarik juga untuk dibahas. Imbalan dari Raja Mataram yaitu “seekor kuda, sebilah keris, dan pohon saparantu” juga tentu menggelitik untuk didiskusikan dengan merujuk pada sumber-sumber literatur. Apa benar demikian? Mungkin dalam kesempatan lain akan saya bahas juga tentang hal tersebut.
Kali ini kita bahas tentang upeti saja dulu. Untuk merespon judul artikel yang agak nyeleneh itu, bahwa Cianjur disebutkan bebas upeti setelah pertemuan dengan Raja Mataram, maka kita harus melihat kembali rujukan literaturnya.
Kisah pengiriman utusan dan kembalinya utusan Cianjur dari Mataram sering disebut-sebut dalam narasi yang membingkai tradisi Kuda Kosong di Cianjur. Kisah itu bersumber dari naskah Babad Cikundul, Sajarah Cikundul atau Babad Menak Sunda. Walaupun berbeda judul, ketiganya mengisahkan perihal peristiwa yang sama. Naskah-naskah tersebut ditulis atau disalin antara abad 19-20.
Babad sendiri dianggap oleh sejarawan seperti Prof. Nina Lubis sebagai historiografi tradisional, yang memerlukan kritik dan kehati-hatian jika digunakan sebagai sumber sejarah. Tentu saja, karena di dalam babad terdapat bagian-bagian rekaan yang bersifat sastrawi dan imajiner. Jadi, tidak semua peristiwa yang dikisahkan merupakan fakta sejarah.
Peristiwa “diplomasi” itu diperkirakan terjadi pada akhir abad 17, yang di dalam babad disebut pada masa pemerintahan “Arya Wiratanudatar kedua” (seharunya Arya Wiratanu II, tanpa gelar “Datar”), putra dari Dalem Cikundul (Arya Wiratanu I). Di dalam arsip sejarah, tokoh yang dimaksud adalah “Raden Wiramanggala” yaitu bupati sekaligus regent Cianjur yang menjabat antara tahun 1691-1707.
Seringkali, kisah itu dianggap sebagai “keberhasilan diplomasi” Cianjur, hingga dianggap saudara oleh Raja Mataram. Implikasi yang mungkin kurang tepat penafsirannya adalah bahwa Cianjur bebas dari upeti atau pajak terhadap Mataram. Padahal, kalau kita mau membaca kelanjutan kisah dari peristiwa tersebut dari naskah babad sebagai sumber literaturnya, maka kita harus legowo bahwa Cianjur tetap harus membayar upeti kepada Mataram selama beberapa periode bupati setelahnya. Artinya, tidak bebas bayar upeti.
Dalam kelanjutan kisah dalam babad itu, Arya Kidul menceritakan pengalamannya kepada orang-orang yang berkumpul di Mataram, termasuk perwakilan dari Surabaya, Rembang, Pati, Lasem, dan Juwuna. Semua perwakilan yang hadir sedang membicarakan pembangunan negara dan bupati-bupati di sekitarnya yang akan membantu. Sejak itu, setiap tahun upeti dari Cianjur ke Mataram diberikan sebagai tanda pengabdian mereka, dan sering kali upeti itu dikirim bersamaan dengan Dipati Ukur (Bupati Bandung).
Begini cuplikan kisahnya dalam Babad Cikundul, Sajarah Cikundul dan Babad Menak Sunda:
[97] Kulawarga pameget jeung istri,
pada kumpul manggihan nu dongkap,
jeung pada naros carios,
naha dén Arya Kidul,
cacarita baé ngabuih,
suka nu pada nanggap,
kawas nanggap pantun,
Dalem Wiratanudatar,
suka manah ngadangu carios rayi,
titih tétéla pisan.
[98] Dalem Arya mariksa ka rayi,
nyampak saha anu ngadeuheusan,
Arya Kidul pok ngawalon,
kaleresan keur kumpul,
Surabaya, Rembang jeung Pati,
Lasem sareng Juwana.
Anu dipirempug,
karsa ngabangun nagara,
digedéan nu deukeut para bupati,
kabagi midamelna.
[99] Ti harita kaluar upeti,
ti Cianjur ka ratu Mataram,
tapi hanteu pati gedé,
ngadeuheus unggal taun,
ka Mataram pertanda ngabdi,
sok rajeun sasarengan,
jeung Dipati Ukur,
ari datang ka Mataram,
perbupati ngadeuheus ka jero puri,
hémpak sila di latar.
Terjemahan:
[97] Keluarga laki-laki dan perempuan,
berkumpul untuk menemui yang baru tiba,
dan pada bertanya cerita.
Kemudian Raden Arya Kidul,
bercerita dengan panjang lebar,
Orang yang mendengarkan senang,
seperti menanggap pantun.
Arya Wira Tanu Datar,
Bersenang hati mendengar cerita adiknya,
rinci dan sangat jelas.
[98] Dalem Arya (Wira Tanu) bertanya kepada adiknya,
“Ada siapa saja yang turut hadir?”
Arya Kidul lalu menjawab,
“Kebetulan sedang berkumpul,
Surabaya, Rembang dan Pati,
Lasem dan Juwana,
yang sedang dibicarakan (yaitu),
hendak membangun negara,
diperbesar (bagi) para bupati yang mendekat,
terbagi mengerjakannya.
[99] Sejak itu keluar upeti,
dari Cianjur kepada Raja Mataram,
tetapi tidaklah besar.
(Utusan dari Cianjur) datang setiap tahun,
kepada Mataram, menjadi abdi.
Sering kali bersama-sama,
dengan Dipati Ukur.
Jika tiba ke Mataram, para bupati,
datang ke dalam keraton,
duduk bersila di latar.
Nah, dengan membaca sumbernya dengan seksama akhirnya kita tahu bahwa Cianjur malanjutkan membayar upeti ke Mataram. Asumsi bahwa ketika utusan Cianjur diakui sebagai saudara oleh Raja Mataram kemudian bebas dari membaya upeti tentu gugur dengan sendirinya. Spekulasi-spekulasi semacam ini terjadi mungkin karena kurangnya melakukan kroscek antara sumber-sumber folklor (cerita rakyat, tradisi lisan) dengan literatur.
Oleh karena itu, saya menawarkan diskusi dan pembahasan hal-hal kecil seperti ini untuk mengajak rekan-rekan peminat sejarah Cianjur agar lebih seksama dan berhati-hati dalam membaca narasi, terlebih lagi jika ingin menyampaikannya kembali kepada khalayak luas. Membaca kisah sejarah, bukan berarti harus selalu mengglorifikasi peristiwa sedangkan peristiwa lainnya ditutupi. Penyampaian yang berimbang perlu kiranya dibiasakan agar nalar menjadi lebih segar.
Cag,
Ciputat 13 Juli 2024
Sumber Bacaan:
- Azhar, Asep Saeful, Aditia Gunawan, dan Yukeu Yuliani M. 2023. Alih Aksara Babad Menak Sunda (121b PLT 15). Jakarta: Perpusnas Press.
- Lubis, Nina. 1998. Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda.
- Surianingrat, Bayu. 1982. Sajarah Cianjur Sareng Raden Aria Wira Tanu Dalem Cikundul Cianjur. Jakarta: Rukun Wargi Cianjur.
- Widiyanto, Y. Sigit, S. Dioyana Kusumah, Elizabeth T. Gurning, dan Yusar Purnama. 1999. Sajarah Cikundul Kajian Sejarah dan Nilai Budaya. ed. Dwi Agustiana. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pemerhati sejarah dan budaya Cianjur, pembaca naskah Sunda kuno, pengulik musik tradisi. Pengguna setia Linux.