Babad Cihea Ditulis oleh Yuhana

Pernah dengar istilah “kawas badak Cihea” (seperti badak Cihea)? Ungkapan itu konon muncul karena dulu di daerah Cihea terdapat habitat sekumpulan badak. Daerahnya yang subur karena berada di dekat aliran Citarum menjadikan daerah ini cukup diperhitungkan sejak zaman koloni Mataram hingga zaman kolonial Belanda. Kisah perkembangan wilayah ini tertulis dalam Babad Cihea.

Babad Cihea secara umum mengisahkan perkembangan awal wilayah Cihea yang saat ini menjadi bagian dari Kecamatan Haurawangi, Kabupaten Cianjur. Wilayah Cihea diperkirakan telah berkembang sebelum abad ke-18, ketika Mataram Islam berkuasa di wilayah Priangan. Beberapa peninggalan dari masa lalu ketika wilayah Cihea berkembang masih dapat ditemukan hingga saat ini.

Dalam penelusuran pustaka mengenai Babad Cihea, setidaknya ada dua versi yang ditemukan. Pertama adalah Babad Cihea yang dipublikasikan oleh Saleh Danasasmita, namun tahun publikasinya tidak diketahui. Sumber ini digunakan sebagai salah satu rujukan dalam buku Sajarah Cianjur sareng Raden Aria Wira Tanu Dalem Cikundul Cianjur karya Bayu Surianingrat (1982).

Isi teksnya tidak disajikan secara lengkap, namun hanya berupa kutipan sebagai bahan perbandingan yang dibahas dalam bukunya tersebut. Sayangnya, publikasi asli Babad Cihea karya Saleh Danasasmita ini belum dapat ditelusuri keberadaannya. Jika sumber ini ditemukan di kemudian hari, tentu akan menjadi dokumen yang berharga untuk kembali dikaji dalam konteks sejarah budaya Cianjur.

Kedua, keterangan tentang Babad Ciheadi dalam buku Hikayat Leluhur Bangsa Hingga Lahir Negri Cianjur jilid Kedua yang disusun oleh Rd. Hanafiyah Wiradiredja, Abdurrauf, dan Rd. Makbul Husein. Secara khusus kisah Babad Cihea disajikan pada Bab III bertajuk “Perjalanan Pangeran Nampabaya dan Pangeran Lirbaya, Para Tumenggung wewakil dari Sultan Mataram untuk membuat Tanah Koloni Mataram di seberang Barat Kali Citarum yang dinamakan Tanah CIHEA.”

Teks yang disajikan dalam buku tersebut merupakan hasil terjemahan bahasa Indonesia dari teks sumber berbahasa Sunda, serta berupa nukilan dari buku lain yang diterbitkan oleh Bale Pustaka, namun tidak disebutkan penulisnya.

“Inilah berupa satu “tukilan” (uitreksel) dari isi sebuah buku yang berjudul “BABAD CIHEA” yang dikeluarkan oleh “Bale Pustaka (Commissie voor de Volkslectuur di Weltevreden, Batavia)” tahun dua puluhan berbahasa Sunda. Dalam pasal2 berikut ini disajikan terjemahan bebasnya: … ”

(Wiradiredja dkk., 1993: 111-112)

Setelah ditelusuri kembali ke sumbernya, ada sebuah terbitan yang mungkin dimaksud dalam rujukan tersebut yaitu buku Lalampahan Pangeran Nampabaya sareng Pangeran Lirbaya, sebuah cerita sejarah karya Yuhana (nama samaran Akhmad Basah), diterbitkan di Bandung oleh penerbit Dachlan Bekti pada tahun 1930 dengan tebal 44 halaman (Kartini, dkk. 1979).

Dalam kesusastraan Sunda, Yuhana lebih dikenal sebagai penulis roman (novel), namun rupanya menaruh perhatian pula pada bidang sejarah. Buku Lalampahan Pangeran Nampabaya sareng Pangeran Lirbaya bukan semata-mata legenda, karena ternyata memuat pula catatan-catatan tahun, catatan-catatan peninggalan serta tempat yang amat penting bagi penulisan sejarah. Apalagi yang ditulis Yuhana itu adalah mengenai sebuah daerah yang hampir tidak pernah disebut-sebut dalam sejarah nasional.

Dalam kata pengantarnya, Yuhana mengemukakan bahwa cerita ini ditulis berdasarkan cerita-cerita kesejarahan yang masih terdapat di kalangan masyarakat Ciranjang, Kabupaten Cianjur pada waktu itu. Di samping itu, dilakukan juga beberapa perbandingan dengan babad. Oleh karena itu Rusyana dkk. (1987:37) menyatakan bahwa buku itu dapat disebut berisi babad dalam corak penyajian baru.

Yuhana membuka karangannya dengan sebuah pendahuluan, yang antara lain mengemukakan bahwa tulisannya ini diangkat sebagai hasil penelitian lapangan (Kartika, 1979:39). Katanya:

“Jisim kuring ngahaja ihtiar nalungtik saeutik-saeutik, milari hal kajadian-kajadian, patapakan nu baraheula, galur para karuhun, tilas anu ngalalakon. Éstu disruksruk ka lembur-lembur, disraksrak ka désa-désa, lantaran sering mireng wartos yén di Cihéa téh, geuning bet aya nu ngalalakon. Ku lantaran jisim kuring panasaran ku béja, kalawan prakna dikotéktak, nya teu burung aya kékénginganana.”

Terjemah:

“Saya sengaja berikhtiar meneliti serba sedikit, mencari hal kejadian-kejadian, peninggalan dahulu, peninggalan nenek moyang, bekas orang-orang yang pernah berperan. Ditelusuri ke kampung-kampung, dilacak ke desa-desa, karena sering didengar berita, lalu dengan mencari maka tidak urung ada hasilnya.”

Menilai dari kemiripan judul Bab III dalam buku karya Wiradiredja dkk. dengan judul buku karya Yuhana, apakah mungkin buku yang digunakan sebagai sumber rujukannya itu adalah “Babad Cihea” karya Yuhana?

Walaupun judulnya mirip, tetapi Wiradiredja dkk. menyebutkan bahwa buku Babad Cihea yang dirujuknya itu diterbitkan oleh Bale Pustaka tahun dua puluhan (1920-an). Dalam penelusuran singkat terhadap sumber tersebut, saya belum bisa menemukan edisi Babad Cihea terbitan Bale Pusaka yang dimaksud. Sehingga, timbul pertanyaan di benak saya, apakah buku Babad Cihea itu memang pernah terbit di Bale Pustaka, ataukah Wiradiredja dkk. keliru menyebukan rujukan?

Ringkasan Cerita

Untuk melihat isi kisah Lalampahan Pangeran Nampabaya sareng Pangeran Lirbaya yang ditulis oleh Yuhana, berikut ini disajikan ringkasan cerita berdasarkan penelitian Kartika dkk. (1979:35-38).

Kota Ciranjang sekarang mula-mula termasuk daerah Bandung, tetapi sejak tahun 1902 termasuk wilayah Cianjur. Nama Ciranjang dipakai mulai tahun 1912, karena sebelumnya daerah itu disebut Cihea.

Konon yang mula-mula mendirikan keraton di Cihea adalah raja Majapahit yang bernama Prabu Jaka Susuruh atau Prabu Hariang Banga, yang namanya sering disebut dalam ceria Pantun Sunda. Raja ini terdesak dari Kerajaan Pajajaran, yang dikalahkan oleh adiknya sendiri yang bernama Ciung Wanara, dan kemudian mundur dan bertahan di Cihea.

Tetapi, lama kemudian wilayah ini ditinggalkannya. Bekas-bekas kerajaannya, seperti keraton, tempat mandi raja, alun-alun, benteng-benteng dan sebagainya, sampai sekarang masih ditemukan di kampung Susuruh di daerah Desa Sukarame sekarang.

Di samping raja Susuruh, yang pernah menguasai Cihea ini adalah pula seorang keturunan Pajajaran yang bernama Raden Rangga Gading. Bekas-bekas peninggalannya ditemukan di kampung Panghiasan, Desa Gunung Halu sekarang, berupa bekas-bekas keraton, pecahan benda dari kaca, piring, dan mangkuk-mangkuk kuno yang diduga buatan Cina.

Setelah raja ini meninggalkan Cihea, kurang lebih tahun 1380, maka daerah itu menghutan kembali.

Tahun 1645 barulah ada pendatang baru ke sana. Prabu Cakrakusumah atau Sultan Agung dari Mataram pada waktu itu telah menguasai pesisir utara tanah Sunda dengan sungai Citarum sebagai batasnya, karena ke arah barat dikuasai Sultan Banten.

Penguasaan atas daerah itu sebenarnya sudah berlangsung sejak pendahulu Sultan Agung, atau sejak tahun 1585. Sultan Agung sebenarnya berkeinginan untuk meluaskan wilayahnya itu ke arah barat, sejalan dengan cita-citanya ingin menguasai seluruh pulau Jawa. Tetapi dengan Sultan Banten itu telah berlangsung persahabatan lama.

Sultan Agung kemudian membuka koloni-koloni di daerah perbatasan itu untuk mengawasi regent-regent bangsa Sunda kalau-kalau mereka memberontak. Di samping itu bertugas menyiapkan perbekalan-perbekalan hasil bumi.

Sesudah tahun 1645 Sultan Agung mengutus dua orang pembesar yang cakap untuk membuka tanah koloni di sepanjang sungai Citarum ke arah hulu. Kedua pembesar yang terpilih adalah Tumenggung Nampabaya dan Tumenggung Lirbaya, kakak adik, yang selanjutnya disebut pangeran karena mereka adalah keturunan pangeran, masih kerabat dengan Pangeran Purbaya yang dikisahkan dalam Babad Batawi.

Kedua utusan itu berangkat dengan dua orang pengiring yang setia, ialah Nayakerta dan Nayakerti. Mereka berangkat dari Mataram melewati daerah Banyumas, Tegal, Cirebon, Sumedang, Parakan Muncang, Majalaya, Ciparay, Manggahang, Banjaran, Soreang, Cipatik, Batulayang.

Di daerah-daerah yang dilewati itu mereka mendapat sambutan bersahabat dan kehormatan. Paling lama mereka tinggal di wilayah Batulayang karena daerah itu adalah batas paling barat wilayah Mataram. Dalem Batulayang terkenal cakap mengurus rakyatnya dan amat disegani.

Pangeran Nampabaya dan Pangeran Lirbaya serta pengiringnya berangkat meninggalkan Batulayang untuk menjalankan perintah Sultan Agung. Selama dalam perjalanan ia mengetahui bahwa aliran sungai Citarum sesungguhnya banyak berkelok ke arah timur, yang berarti “menggerogoti” wilayah Mataram.

Setelah jauh mengikuti aliran sungai Citarum, melalui daerah Curugagung, Cikalong, dan Leuwiliang maka sampailah ke hutan Cihea. Mereka beristirahat di atas sebuah batu besar di tepi sungai. Ketika mereka tertidur, mereka terhanyutkan banjir yang datang secara tiba-tiba dan terdampar jauh di hilir.

Pangeran Nampabaya dan Pangeran Lirbaya selama itu mendapat impian yang sama. Mereka bermimpi didatangi seorang kakek-kakek yang memberi petunjuk supaya kembali ke hulu tempat beristirahat tadi.

Dalam rangkaian peristiwa-peristiwa selama perjalanan itulah terjadi sasakala beberapa nama tempat. Antara lain kampung Batununggul, karena di situ terdapat batu besar tempat beristirahat mereka, Cihea karena di daerah itu penuh dengan kayu hea, Pasir Tangkolo karena terdapat banyak pohon tangkolo, kampung Nyampay tempat Pangeran Nampabaya dan Pangeran Lirbaya menyampirkan destarnya, kampung Pangkalan tempat mereka mangkal, Batu Tumenggung adalah batu bekas mengasah pedang Nampabaya yang dilemparkan ke sungai, kali Cinungnang di mana ketika Pangeran Nampabaya menyuruh orang-orang menabuh gamelan, kampung Pasanggrahan di mana kedua pangeran mulai membuka tempat peristirahatannya dan seterusnya.

Maka terbentanglah daerah Cihea menjadi negeri yang ramai. Dalem Nampabaya memerintah negeri dengan baik, adil dan bijaksana. Sebagai patihnya adalah Pangeran Lirbaya.

Dalem Nampabaya mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Pangeran Nerangbaya. Ia seorang pemuda yang cakap dan cerdas, dan telah dicalonkan sebagai pengganti ayahnya jika telah meninggal. Hal itu telah pula mendapat persetujuan Sultan Agung Mataram yang mengatakan tiada halangannya, jika telah sampai waktunya.

Pangeran Lirbaya sebagai patih yang bijaksana ternyata beralih perhatian. Kini ia lebih sering memisahkan diri dari kakaknya, banyak mendalami ilmu dan bepergian. Dalam hal menuntut ilmu ia akrab dengan Dalem Cibalagung, yang terkenal dengan nama Aria Wiratanudatar, di Cikundul.

Keduanya akrab bersahabat. Dalam Babad Cikundul persahabatan kedua pembesar negeri ini dibicarakan waktu Dalem Cikundul memindahkan ibu kota dari Cikundul (Cibalagung) ke Cianjur, serta peristiwa melepaskan diri dari kekuasaan Banten dan pindah mengabdi kepada Sultan Mataram tanpa melalui peperangan.

Pada suatu hari Pangeran Lirbaya pamit kepada Dalem Cihea untuk berburu sekaligus sambil mengadakan perjalanan memeriksa negeri.

Perjalanannya itu ternyata berlarut-larut sehingga akhirnya ia sampai ke puncak bukit Batu Riung. Dari sana perjalanan diteruskan, hendak menuju Cikundul mengunjungi sahabatnya. Tetapi sesampai di hulu Cihea Pangeran Lirbaya berhenti lagi pada sebuah bukit. Ia berbicara sendiri yang ternyata sedang bercakap-cakap dengan seorang raja di daerah itu. Ia tidak nampak karena bukan manusia biasa, melainkan jin. Kepada raja itu Pangeran Lirbaya meminang anaknya.

Kepada kedua pengiringnya Pangeran Lirbaya meminta supaya kembali ke negeri dan memberikan sebuah surat untuk Dalem Cihea. Seterima surat itu Dalem Cihea segera pergi menyusulnya. Tetapi ternyata Lirbaya menolak untuk kembali, serta meramalkan bahwa Cihea pada akhirnya akan lenyap. Sekembali ke kota Dalem Nampabaya jatuh sakit dan tidak lama kemudian meninggal.

Pangeran Nerangbaya yang menggantinya mula-mula berlaku adil dan bijaksana, tetapi ia kemudian lupa akan kemajuan negeri. Ia kini lebih banyak bermain-main dengan wanita-wanita cantik. Sampai akhirnya ia mengundang Ayu Baron, seorang penyanyi dan penari dari Samarang (Semarang?) yang terkenal cantik. Penari itu dinikahinya, dan hal itu telah mengecewakan rakyat seluruh negeri. Sejak itu Pangeran Nerangbaya makin lalai mengurus kesejahteraan rakyatnya.

Setelah merasa bosan dengan permaisuri Ayu Baron, terdengar lagi oleh sang Pangeran seorang putri cantik di daerah Cikundul. Maka diambil pulalah sebagai istri yang kedua. Tetapi tidak lama kemudian Ayu Baron meloloskan diri, ia merasa tersisihkan. Dalem Nerangbaya mencarinya, dan menemukannya di dekat sungai Citarum tetapi dalam keadaan sakit payah, dan kemudian meninggal. Mayatnya dimakamkan di kampung Pangkalan, sampai sekarang terkenal dengan nama makam Eyang Ayu Baron.

Dalem Nerangbaya pun tidak lama kemudian meninggal dan dimakamkan di atas sebuah bukit dekat Cihea, terkenal dengan nama Embah Dalem Pasir. Sedangkan patihnya yang dimakamkan di Cikawung dikenal dengan nama Sembah Dalem Cikawung.

Maka lenyaplah pemerintahan Mataram di Cihea. Sultan Amangkurat yang menggantikan Sultan Aung tidak lagi berminat membuat koloni lagi. Apalagi daerah itu kemudian diserahkan kepada Kompeni sebagai upah, karena telah membantu Mataram dalam peperangan dengan Banten pada tahun 1677.

Sumber bacaan

  • Kartini, Tini dkk. 1979. Yuhana Sastrawan Sunda. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Rusyana, Yus dkk. 1987. Ensiklopedi Susastra Sunda. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Surianingrat, Bayu. 1982. Sajarah Cianjur Sareng Raden Aria Wira Tanu Dalem Cikundul Cianjur. Jakarta: Rukun Wargi Cianjur.
  • Wiradiredja, Hanafiah dkk. 1993. Hikayat Leluhur Bangsa Hingga Lahir Negeri Cianjur. Jilid Kedua. Cianjur: Yayasan Wargi Cikundul.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *