Situs Megalitik Putra Pinggan di Kampung Kuta, Ciranjang

Peninggalan tradisi megalitik Ciranjang ini termasuk Desa Ciranjang, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur. Lokasi ini dikenal sebagai Kampung Kuta, letaknya berada di belakang Mesjid Agung Ciranjang, seberang pasar Ciranjang yang dilalui jalan raya Bandung.

Ada beberapa sebutan untuk situs ini, yaitu Situs Benteng Tanah, Putra Pinggan, Kuta Pinggan, Kampung Kuta, atau Makam Eyang Srangsangbentang. Nama-nama tersebut merujuk pada struktur-struktur yang berada dalam kompleks megalitik Ciranjang.

Penelitian yang dilakukan oleh tim Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) tahun 1985 membahas detail situs ini dalam sebuah laporan bertajuk Peninggalan Tradisi Megalitik di Daerah Cianjur, Jawa Barat. Adapun artikel blog ini bertujuan untuk mengangkat kembali hasil penelitian dari Tim Puslit Arkenas agar situs Pura Pinggan lebih dikenal luas dan mendapatkan perhatian yang lebih baik dari pihak-pihak yang berkepentingan.

Laporan awal tentang situs Putra Pinggan diumumkan oleh H.E. Steinmetz dalam sebuah artikel berjudul “Over eenige Oudheden in Bandung” (Steinmetz, TBG, XLI 1899). Dalam laporan itu disebutkan bahwa di Dukuh Palimitan, Desa Ciranjang Hilir, Distrik Cihea ditemukan sebuah peninggalan berupa Makam Putra Pinggan.

T.B.G XLI (1899:288)

Graf van Poetro Pinggan, aan midkant, ter lengte van 1/2 paal, omgeven door een 3 à 4 M. Hoogen wal, die tot aan de Tjisokan gaat, overblijfsel van de koeta Gandok.”

Terjemahan:

“Makam Putra Pinggan, di tengahnya, dengan panjang sekitar setengah dari suatu ukuran yang disebut ‘paal’, dikelilingi oleh dinding setinggi 3 hingga 4 meter yang membentang hingga ke Tjisokan, sisa dari struktur Gandok.”

Situs ini terletak di atas sebuah bukit kecil yang dibatasi oleh sungai Cisokan di sebelah barat, sungai Ciranjang di sebelah timur. Keduanya bertemu di bagian utara situs. Kedua sungai ini mempunyai tebing yang sangat terjal dan dalam. Jika dilihat dari situs ini, maka ketinggian sampai ke dasar sungai sekitar 50 m.

Sekitar 200 m di sebelah selatan situs bangunan berundak ini, yaitu antara Cisokan dan Sungai Ciranjang, terdapat sebuah benteng yang terbuat dari tanah. Tinggi benteng ini sekitar 7 meter. Dengan adanya benteng ini maka terdapat suatu areal tanah yang cukup luas yang tertutup oleh dua buah sungai dengan tebing sedalam 50 m dan benteng setinggi 7 m. Satu-satunya peninggalan tradisi megalitik di dalam benteng ini ialah bangunan punden berundak tersebut.

Baca juga: Situs Benteng Tanah

Peninggalan tradisi megalitik di Desa Ciranjang merupakan sebuah bangunan berteras dengan sebuah menhir dari monolit di atasnya. Bangunan berundak ini disusun dari batu-batu kali dan berada di atas teras dari tanah yang berukuran panjang 26,30 m, lebar 13,5 m, dan tinggi 60 cm. Secara keseluruhan, bangunan berundak ini berukuran 20 m dan lebar 7,5 m, berorientasi timur laut – barat daya.

Bangunan berundak di Desa Ciranjang ini berlainan bentuknya dengan bangunan berundak yang pernah ditemukan di Pangguyangan, Gunung Padang, Lemah Duhur, dan lain-lain. Teras yang paling tinggi justru tidak terdapat pada teras yang paling ujung, tetapi terdapat pada teras yang di tengah.

Bangunan berundak semacam itu juga pernah dilaporkan oleh Van der Hoop yang disebut dengan kubur teras berundak (terrace graves), di dataran tinggi Pasemah (Van der Hoop, 1932). Peninggalan tradisi megalitik dengan benteng semacam ini juga telah dilaporkan dalam Berita Penelitian Arkeologi, yaitu situs Pugungraharjo, Jabung dan Negara Saka.

Dari perbandingan dengan ketiga situs tersebut, tampak bahwa kompleks megalitik Ciranjang sangat mirip dengan kompleks megalitik di Negara Saka, Lampung Tengah yang dibuat pada bekas meander sungai Way Seputih. Dengan demikian, peninggalan tradisi megalitik di Ciranjang yang dilengkapi dengan benteng sepanjang sekitar 500 meter ini diduga merupakan tempat tinggal (settlement) pada masa berkembangnya tradisi megalitik.

Sebagai satu-satunya tempat pemujaan ialah bangunan berundak yang sekarang biasa disebut dengan Makam Srangsangbentang. Sayang pengamatan yang dilakukan oleh tim Puslit Arkenas di daerah benteng belum berhasil menemukan unsur-unsur megalitik khususnya, maupun unsur prasejarah pada umumnya selain bangunan berundak seperti tersebut di atas.

Bangunan berundak dari Makam Srangsangbentang ini cukup menarik, terutama dalam mencari bukti tentang adanya bangunan berundak seperti yang telah dikemukakan oleh Van der Hoop di dataran tinggi Pasemah. Adanya petunjuk dari legenda yang dikemukakan oleh masyaraka pada waktu ia mengadakan wawancara perlu diperhatikan.

Bukan tidak mungkin apa yang dikatakan oleh penduduk Pasemah itu benar, seperti apa yang telah terjadi pada waktu penelitian peninggalan tradisi megalitik Terjan. Pada waktu ekskavasi Terjan belum berlangsung memang telah ada berita bahwa peninggalan megalitik Terjan merupakan tempat pemakaman. Pasemah memiliki bentuk seperti bangunan berundak untuk penguburan menjadi dasar dalam klasifikasi selanjutnya untuk mengupas fungsi teras sebagai tempat upacara dan untuk penguburan.

Untuk memperkuat adanya kalsifikasi dan perbedaan fungsi bangunan berundak, maka diadakan beberapa ekskavasi. Teras berundak di Ciranjang merupakan contoh yang sangat baik, selain bentuknya cukup menarik, legenda (cerita rakyat) tentang adanya penguburan Srangsangbentang juga sangat mendukung.

Dalam laporan Tim Puslit Arkenas kemudian dipaparkan deksripsi setiap teras. Penomoran teras 1, 2, 3 dan seterusnya tidak menunjukkan semakin ke atas, tetapi hanya untuk memudahkan uraian.

Teras 1

Teras ini berukuran 75 x 5 m, terletak di bagian barat laut, kemudian berturut-turut arah timur laut, teras 2, 3, 4, dan 5. Pda teras ini terdapat apa yang sering disebut Makam Srangsangbentang. Di sini terdapat makam yang sangat panjang dari batu bata. Makam ini jelas dibuat pada masa sekarang, dan biasa disebut makam panjang karena ukurannya sangat panjang.

Nisan berukuran panjang 4,5 m dan lebar 6,5 m. Makam ini tidak kelihatan mendapat pengaruh Islam karena arah hadap tidak membujur utara-selatan. Pada bagian ujung tenggara Makam Srangsangbentang terdapat batu-batu kali besar dan kecil yang diatur menyerupai fondasi.

Makam Panjang” Ciranjang (dok. Puslit Arkenas, 1985)

Teras 2

Teras ini terletak di bagian yang paling tinggi dan berukuran panjang 8,2 m, lebar 7,5 m. Bagian atas teras mempunyai permukaan yang sangat rata. Tidak ditemukan sesuatu kecuali fragmen tempayan yang kalau direkonstruksi mungkin masih utuh. Tempayan ini merupakan tempayan baru dan tidak ada hubungannya dengan bangunan berundak.

Keadaan teras yang kosong ini menimbulkan masalah apakah teras yang tertinggi tanpa adanya peninggalan yang lain mempunyai hubungan kosmologis yang menggambarkan tentang kehidupan di alam arwah yang sudah tidak ada sesuatu (kosong), seperti prinsip dalam ajaran Buddha.

Teras 3

Teras ini berukuran 7 x 4,5 m. Dinding teras terdiri dari susunan batu-batu kali yang dipergunakan untuk menahan agar tanah pada teras ini tidak longsor. Teras ini mempunyai tinggi 50 cm. Satu-satunya temuan yang dapat dilihat di sini ialah sebuah menhir yang dibuat dari monolit, dan berkuran garis engah 1,5 m dengan ketinggian 90 cm.

Menhir ini mengingatkan pada bentuk menhir di Leuwiliang Bogor, yang berfungsi sebagai pusat pemujaan, dan menhir-menhir besar yang ditemukan di Bukit Tongtu, Kecamaan Cikalong, serta menhir-menhir di Bukit Kasur Cipanas. Menhir di sini jelas merupakan pusat pemujaan yang berkaitan dengan kuluts nenek moyang.

Teras 4

Teras ini terletak di sebelah timur laut, berukuran 7 x 6 m dengan tinggi 40 cm. Pada teras ini ditemukan makam yang dibuat dari susunan batu kali besar dan kecil yang membentuk persegi panjang dengan ukuran 3,5 m x 75 cm. Batu gundukan yang merupakan makam ini disertai pula dengan batu tegak di masing-masing ujungnya seperti Makam Srangsangbentang. Makam ini bila ditinjau dari arah hadapnya tidak sesuai dengan makam Islam.

Bentuk makam di sini, seperti juga Makam Srangsangbentang, mempunyai arah hadap tenggara-barat laut. Tidak diketahui dengan pasi mengapa makam-makam di sini tidak mengarah pada suatu obyek yang merupakan tempat keramat bagi mereka. Karena, pada arah tenggara-barat laut tidak ditemukan bukit atau gunung yang dianggap keramat

Keempat bangunan berundak ini berdiri pada sebuah halaman (teras) yang dibuat dari tanah tanpa disertai dinding batu. Teras ini merupakan teras terbawah berukuran 26,20 x 13,5 m. Dengan demikian secara keseluruhan bangunan berteras ini terdiri dari 5 teras.

Teras Berundak Ciranjang, Kabupaten Cianjur (dok. Puslit Arkenas, 1985)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *