“Serat Kalih” Cianjur untuk Mataram Tidak Berbentuk Tembang

Daluang disebut dalam babad Sajarah Cikundul sebagai bahan untuk menulis surat (foto: Kemdikbud)

“Serat Kalih” atau surat ‘penyerahan diri’ pihak Cianjur kepada Mataram yang sering dikaitkan dengan tradisi Kuda Kosong, dipahami berbentuk tembang, yaitu ditulis dengan pupuh Dangdanggula. Bahasa yang digunakannya tentu Jawa, bukan Sunda.

Narasi ini mungkin hampir bisa dikatakan sebagai suatu peristiwa sejarah oleh masyarakat awam. Sayangnya, tidak banyak orang bisa mengakses sumber primernya (naskah daluang), atau bahkan naskah sekundernya (digubah dalam bentuk wawacan) berupa babad.

Paling tidak, naskah sekunder masih bisa saya jangkau. Sebuah teks berjudul “Sajarah Cikundul” yang terbit di Soendaneesche Volksalmanak tahun 1920-1921, jelas menyebutkan bahwa surat yang dibuat oleh pihak kadaleman Cianjur di Pamoyanan bentuk awalnya bukanlah tembang.

Soendaneesche Volksalmanak 1919 koleksi Universiteit Bibliotheek Leiden (dok Ilham Nurwansah, cc-by)

Teks wawacannya sendiri digubah oleh Raden Muhammad Isa, hoofd Panghulu Serang, orang Sunda tulen. Ia telah menggubah teks wawacan lain, yaitu Babad Permana di Puntang (Pada 3). Dalam pengakuannya, ia lebih senang menggunakan bahasa Jawa ketika menggubah cerita, sebab lebih mudah mencari padanan kata (dasanama) yang sulit dicari dalam bahasa Sunda (Pada 5).

Begini ujarnya:
[5] “Leres kaula pirbadi,
lain pisan asal Jawa,
puguh asal Sunda tulén,
tapi rasa gampang Jawa,
manan ngarang ku Sunda,
ari panggih anu bingung.
geuwat muka Dasanama.
 
Terjemahan:
“Benar bahwa saya sendiri,
sungguh bukan berasal dari Jawa,
tentu asal Sunda tulen,
tetapi terasa lebih mudah (bahasa) Jawa,
daripada mengarang dengan (bahasa) Sunda,
jika menemukan (ungkapan) yang membingungkan,
segera membuka Dasanama,”

Mengenai bagian tentang penulisan “Serat Kalih” (penamaan ini terasa janggal), dikisahkan oleh Raden Muhammad Isa (penulis babad) bahwa Arya Wiratanu II mengusulkan dalem Arya Kidul untuk menulis surat dalam bahasa Jawa, karena pengalamannya yang cukup luas. Surat itu kemudian ditulis oleh Arya Kidul.

Begini bunyinya:
[85] “Serat kalih miwah sembah bakti,
medal saking ikhlasing werdaya,
abdi dalem Sunda kilén,
kang dahat budi punggung,
kang tetengga pasitén Gusti,
kita ing Pamoyanan tepining Cianjur,
Arya Wiratanu Datar,
mugi konjuk ing dalemakan jeng Gusti,
Sinuwun ing Mataram.
 
[86] Sasampuning kadya sapuniki,
gebal dalem nyaosaken raga,
negari sareng isiné,
pitik iwaké katur,
pan sumangga kesaning Gusti,
kaula darma tengga,
ayahan pukulun,
cipta ulun kumawula,
siang dalu mung nyadong dawuh jeng Gusti,
sumangga raga kasrah.

Menariknya, di dalam teks berikutnya Raden Muhammad Isa menegaskan bahwa teks aslinya bukanlah berbentuk tembang. Ia gubah menjadi tembang untuk menyesuaikan dengan “lagu” atau metrum pupuh, namun tanpa mengganti maksud dari isi surat itu.

Begini ungkapnya:
[89] “Kasambungan ku batur nu nganggit,
éta surat ka Mataram téa,
lain tembang asalna téh,
tapi teges nya kitu pahamna mah jeung éta sami,
kula henteu nambahan darma nyieun lagu,
dirasa kurang ngeunahna,
lamun anu maca henteu ngahariring,
meureun kawas ngadoa.”
 
Terjemah:
“Tersambung oleh penulis,
surat untuk ke Mataram itu,
asalnya bukan berbentuk tembang,
tapi jelas seperti itu maksudnya persis,
saya tidak menambahkan (isinya) untuk membuat lagu,
karena dirasa kurang enak,
jika pembaca tidak bersenandung,
mungkin seperti orang sedang berdoa”

Jadi, teks “Serat Kalih” yang menggunakan metrum pupuh Dangdanggula itu, paling tidak, adalah hasil gubahan Raden Muhammad Isa pada tahun 1920-an untuk keperluan penulisan wawacan “Sajarah Cikundul”. Bukan karya langsung dari Dalem Arya Kidul, seperti yang sering disebut-sebut selama ini di Cianjur. Walaupun mungkin, esensi dari isi suratnya tetap dipertahankan.

Cag,

Ciputat, 19 Februari 2024

@inurwansah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *