Dalam buku Sajarah Cianjur Sareng Raden Aria Wira Tanu Dalem Cikundul Cianjur (1982) halaman 56, Bayu Suryaningrat menyebutkan bahwa patriotisme dan eksistensi padaleman Cianjur yang mandiri mulai terlihat dalam dagregister 20 Januari 1678. Isi dari dagregister itu merupakan ringkasan dari surat bupati Sumedang.
Bayu Suryaningrat menyatakan bahwa peristiwa itu berkaitan dengan peran Wira Tanu I yang membuat pos penjagaan di pegunungan Cimapag dan pegunungan Cianjur. Ia juga menyebutkan bahwa catatan itu menjadi bukti kemunculan nama Cianjur untuk pertama kalinya dalam laporan VOC bersama dengan penyebutan nama tempat lain, yaitu Cimapag. Tampaknya, keterangan yang dikemukakan oleh Bayu Suryaningrat cukup banyak bersandar pada publikasi buku Priangan karya de Haan yang terbit beberapa volume pada tahun 1911/12.
Untuk dapat melihat keterangan ini secara kronologis, terlebih dahulu saya sajikan kembali kutipan dagregister 20 Januari 1678 yang disusun oleh de Haan dan terbit tahun 1907. Catatan lengkapnya terdiri atas tiga halaman (halaman 35-37), tetapi bagian yang menyatakan keterangan tentang topik yang kita bahas berada pada halaman 36.
Myn Ed’ heer Gouverneur Generaal, die van Seribon hebben almede in ’t geberchte Simapack en ’t contour beset, dat de coopluyden niet meer naer Batavia mogen gaen om te handelen; die met gewelt wil deur gaen, worden de goederen en coopmanschappen afgenomen, versoecke insgelyex woor te wesen om de voorsz. dorpen instant te brengen.
Berikutnya, kita tinjau kembali bagian yang sama dalam terbitan buku Priangan jilid 3yang juga disusun oleh de Haan (1912) halaman 118.
“Die van Seribon hebben alsmede in ‘t geberchte Simapack en ‘t Santoir (less: Tsiantoir) beset, dat de coopluijden niet meer naer Batavia mogen gaan”.
Bayu Suryaningrat juga mengutip pernyataan de Haan tersebut sebagai rujukan dengan terjemahan dalam bahasa Sunda.
“jalmi-jalmi ti Cirebon geus ngarebut/nyaricingan pagunungan Cimapag jeung pagunungan Cianjur, yen padagang-padagang teu meunang arindit deui ka Batavia.”
Menarik untuk disimak bahwa Bayu Suryaningrat tampaknya menyadari adanya perbedaan penyebutan nama Cianjur dalam kedua dokumen tersebut. Komentarnya itu terdapat pada catatan kaki di halaman 59:
Aya perbentenan transkripsi kecap “Santoir” (de Haan, jilid I) sareng transkripsi dina Bataviaasch Genootschap (BG). Dina BG diserat “Contour” (Bld = omtrek, Ind = sekelilingnya). Seratan aslina mah tiasa “Santoir” atanapi “Cantoir”. Rupina mah leres de Haan: Santoir, anu kedah diaos Tsiantoir (= Cianjur).
Terjemahan:
Ada perbedaan transkripsi kata “Santoir” (de Haan, jilid I) dengan transkripsi pada Bataviaasch Genootschap (BG). Dalam BG ditulis “Contour” (Bld. = omtrek, Ind = sekelilingnya). Tulisan aslinya bisa “Santoir” atau “Cantoir”. Tampaknya de Haan benar: Santoir, yang seharusnya dibaca Tsiantior (=Cianjur).
Tinjauan Paleografis
Mengapa keterangan de Haan berbeda dalam dua edisi dagregister itu? Untuk mengonfirmasi tulisan aslinya perlu dilakukan pemeriksaan langsung pada arsip dagregister yang dimaksud melalui pendekatan paleografi. Arsip tersebut berada di lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia. Dari arsip digital yang disediakan oleh ANRI dapat ditemukan dagregister tahun 1678.
Dari pengamatan pada naskah tulisan tangan (manuskrip) tersebut ditemukan kata “simapack” dan “santoir” yang dimaksud oleh de Haan. Kata “simapack” cukup jelas ditulis dengan huruf Latin seperti pada umumnya. Namun, kata “santoir” memiliki fitur aksara khusus pada karakterhuruf “s” yang berbentuk seperti “P” kapital ( ). Pada kesan pertama, kata ini terbaca “Pantoir”.
Dengan melakukan perbandingan paleografis terhadap kata lain yang mengandung unsur huruf “s” di halaman yang sama, ditemukan beberapa aksara yang memiliki fitur yang mirip dengan aksara berbentuk “P” pada kata “santoir” tadi. Kata yang ditemukan antara lain “seribon, alsmede,” dan “beset”.
Berdasarkan ketiga contoh bandingan huruf “s” yang tersedia, maka terkonfirmasi bahwa fitur aksara berbentuk seperti “P” tadi adalah huruf “s”, sehingga sesuai dengan transkripsi de Haan tahun 1911. Sedangkan, transkripsi de Haan tahun 1907 yang menunjukkan kata contour dapat dibandingkan dengan penggunaan huruf “c” dalam kata lain dalam halaman yang sama pada manuskrip, misalnya pada kata coopluijden dan coopmanscha(ppen). Dari hasil pengamatan paleografis karakteristik huruf “c” sangat berbeda bentuknya dengan huruf “s”. Dengan demikian keputusan de Haan untuk mengoreksi kata contour menjadi santoir sudah tepat, sehingga sesuai dengan manuskrip dagregister tahun 1678.
Tafsiran de Haan terhadap kemunculan nama Cianjur
Pada transkripsi tahun 1912, selain mengoreksi kata ‘contour’ menjadi ‘santoir’, de Haan juga menambahkan komentar yang ia tuliskan di dalam kurung “‘t geberchte Simapack en ‘t Santoir (less: Tsiantoir)”. Keterangan “lees” yang dibubuhkan oleh de Haan memberikan usulan dengan penekanan bahwa kata Santoir lebih baik ditinggalkan dan selanjutnya diganti dengan kata Tsiantoir.
Kemudian, de Haan juga memberikan tafsiran bahwa berdasarkan surat dari Bupati Sumedang dalam laporan persitiwa penghadangan jalur perdagangan itu, penyebutan nama Cimapag yang kemudian menjadi bagian dari Cikalong menjadi petunjuk yang kuat tentang berdirinya Cianjur, tanpa perlu bergantung kepada pihak Cirebon.
De eerste vermelding van Tjiandjoer is D. 20 Jan. 1678 in een brief van den Regent van Soemedang: „Die van Seribon hebben alsmede in ’t geberchte Simapack en ’t Santoir (lees: Tsiantior) beset, dat de coopluijden niet meer naer Batavia mogen gaen”. Cheribon lei dus in de troebelen de hand op den belangrijksten verkeerweg van Batavia met de Preanger (zie § 226). Aangezien nu Tjimapag nog veel later onder Tjikalong behoorde (§ 227), is het niet onwaarschijnlijk dat hier de stichting van Tjiandjoer wordt bedoeld, waarbij niet aan koloniseering van uit de hoofdstad Cheribon behoeft te worden gedacht.
Terjemahan1:
Penyebutan pertama Tjiandjoer tercatat pada D. 20 Januari 1678 dalam sebuah surat dari Regent Soemedang: “Mereka dari Seribon juga menduduki daerah pegunungan Simapack dan Santoir (baca: Tsiantior), sehingga para pedagang tidak lagi diizinkan pergi ke Batavia.” Dengan demikian, dalam kekacauan tersebut, Cheribon mengendalikan jalan utama dari Batavia ke Preanger (lihat § 226). Karena Tjimapag kemudian menjadi bagian dari Tjikalong (lihat § 227), bukan tidak mungkin bahwa ini merujuk pada pendirian Tjiandjoer, tanpa perlu mempertimbangkan kolonisasi dari ibu kota Cheribon.
Menarik untuk diamati bahwa bahwa dalam persitiwa itu de Haan menduga bahwa Cianjur telah berdiri. Belakangan, Bayu Suryaningrat menamahkan tafsirannya bahwa peristiwa penghadangan itu adalah wujud upaya heroik dari Wira Tanu I sebagai pemimpin di wilayah Cianjur dan sekitarnya, walaupun dalam laporan ini nama Wira Tanu I tidak disebutkan secara eksplisit.
Surat asli berbahan daluang dan lontar
Hal lain yang menarik perhatian saya dalam laporan itu adalah bagian pendahuluan yang berisi keterangan tentang sumber surat dari Pangeran Adipati Sumedang. Dalam dagregister itu disebutkan bahwa surat dari Adipati Sumedang yang diterima oleh Gubernur Jenderal ada dua buah. Surat yang pertama berbahan Javaense papier atau daluang, dan kedua berbahan lonthoir atau lontar. Keduanya ditulis dalam bahasa Jawa.
20 d°. Heden comt de capiteyn, Fredericq Muller, by zij Edt met een afgesondene van pangeran Patty Samadangh, op gisteren te lande van daer weder aengecomen, overleverende twee briefjes van syn meester, d’eene op Javaens papier en d’andere op een lonthoir in de Javaense tale, beyden aan d’heer generael geschreven ende nae translatie beconden van volgenden inhout.
Terjemahan:
Tanggal 20. Hari ini, Kapten Fredericq Muller datang dengan kehormatannya, didampingi oleh seorang utusan dari Pangeran Patty Samadangh, yang tiba kembali kemarin dari tempat ia berangkat. Dia menyerahkan dua surat dari tuannya, satu berupa kertas Jawa dan yang lainnya berupa daun lontar dalam bahasa Jawa, keduanya ditulis untuk jenderal, dan setelah diterjemahkan, ternyata berisi konten berikut.”
Dengan melihat keterangan tersebut, maka sesungguhnya kemunculan nama Cianjur itu adalah berdasarkan keterangan dari surat yang dikirim oleh Sumedang kepada gubernur jenderal VOC. Sedangkan, laporan VOC bersifat sebagai arsip pencatatan saja. Kedua naskah berbahasa Jawa (mungkin juga Sunda?) yang ditulis pada daluang dan lontar itu besar kemungkinan ditulis menggunakan aksara Jawa. Jika kedua surat asli dari Sumedang itu bisa ditemukan arsipnya, tentu analisisnya diharapkan dapat lebih mendalam lagi.
Setelah meninjau sumber dari dagregister VOC tanggal 20 Januari 1678 tersebut, saya malah menjadi lebih penasaran dan bertanya-tanya. Di manakah kedua naskah Sumedang itu sekarang disimpan? Kira-kira, bagaimana kata “Cianjur” ditulis dalam surat itu ya?
—–
1Penyebutan nama tempat dipertahankan seperti dalam transkripsi aslinya untuk menunjukkan perbedaan ejaan.
Pemerhati sejarah dan budaya Cianjur, pembaca naskah Sunda kuno, pengulik musik tradisi. Pengguna setia Linux.
[…] ini adalah kelanjutan dari artikel Kemunculan Awal Nama Cianjur dalam Laporan VOC, seri pembacaan ulang sumber-sumber awal tentang sejarah Cianjur. Setelah diketahui kapan nama […]