
Dalam kisah sejarah Cianjur, Raden Jayasasana atau Wiratanu I atau lebih dikenal dengan sebutan Dalem Cikundul memiliki gelar lain yaitu Raja Gagang. Kedudukan Dalem Cikundul sebagai Raja Gagang dikaitkan dengan takhta kerajaan Pajajaran yang berlanjut hingga kepada dirinya. Takhta ini diyakini oleh banyak orang sebagai sebuah keterangan sejarah yang hampir bisa dikatakan: pasti. Sumber-sumber lain yang tersebar di internet juga menunjukkan bahwa Raja Gagang adalah Raden Jayasasana.
Salah satu contoh menarik dinyatakan dalam unggahan Rangga Suria Danuningrat dalam grup Facebook Jelajah Sejarah Soekaboemi 16 Juni 2022 (link). Ia menuliskan sebagai berikut:
Berita mengenai Raja Gagang ini tercatatkan dalam buku “De Priangan” Jilid 2 halaman 130 Dag Register Belanda tanggal 14 Januari 1666 yang mencatatkan adanya ekspedisi Sersan Scipio yang menyatakan diterimanya surat dari raja Gagang yang intinya menyatakan telah berdirinya kerajaan baru pelanjut Kerajaan Pajajaran bernama Kerajaan Cianjur yang menyatakan diri sebagai raja di pegunungan dengan tidak tunduk kepada Mataram maupun Belanda atau kepada Banten dan Cirebon, tetapi langsung kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sumber: Facebook Rangga Suria Danuningrat, Jelajah Sejarah Soekaboemi 16 Juni 2022 (link)
Dalam tulisan itu disebutkan sumber yang dirujuk yaitu buku De Priangan Jilid 2 halaman 130, pada bagian dagregister tanggal 14 Januari 1666. Pencantuman sumber yang jelas itu dapat membantu penelusuran dalam sumber aslinya untuk mengecek kebenaran data yang dimaksud.
Untuk mendapatkan konteks yang lebih jelas, saya kutip bagian yang dimaksud sebagai berikut:


(6) Dagregister 14 Januari 1666. „Heden werd aen de Heer Gouverneur Generael behandigt een brieff, door een Conincq in ’t geberghte aen gemeltc Sijn Ede. geschreven, luijdende naer gedaene translatie uijt het Javaens aldus:
De Heer zij gegroet. Dese brieff comt van de Conincq in ‘t gebergte aen den Cappitain Moor die het gebied heeft over de volckeren van Batavia, opdat hij deselve magh voortsenden aen den Conincq van Hollan, bij haer genoemt den Conincq Gaggangh (1). Soo hij de brieff niet en sent, soo sal hij eghter laeten weten dat de Coningh in ‘t geberghte hier woondt; in allen gevalle moet het bekent gemaekt worden, sonder daervan te blijven in gebreke”.
Nae ‘t seggen van den brengen deses brieff woont desen Coningh in ‘t geberghte om de Zuijt West, ongeveer vier daegen reijsens van Batavia. Stact onder Bantam nogh onder de Mataram, maer alleen onder de Heere des Homels. Het rijck bestaet uijt vijf mannen, daeronder den Conincq mede gerekent, vijf vrouwen ende ses kinderen; ceten vis nog vlees nogh iet dat leven ontfangen heeft; saijen nogh maeijen niet, maer vergenoegen haer met de vrughten die het bosch ende de aerde van selfs voorbrengt. Zijn van den aenhangh Mahomets, maer willen voor heijlige menschen gekent zijn.
Terjemahan:
(6) Catatan Harian 14 Januari 1666. “Hari ini sebuah surat diserahkan kepada Bapak Gubernur Jenderal, ditulis oleh seorang Raja di pegunungan kepada Yang Mulia ini, berbunyi setelah diterjemahkan dari bahasa Jawa:
“Pujian kepada Tuhan. Surat ini berasal dari Raja gunung kepada Kapten Moor, yang memiliki wewenang atas rakyat Batavia, agar dia dapat meneruskannya kepada Raja Belanda, yang oleh dirinya disebut Raja Gaggangh (1). Jika dia tidak mengirim surat, maka hendaklah dia memberitahukan bahwa Raja tinggal di pegunungan. Dalam semua hal, harus diketahui, tidak boleh gagal.”
Menurut kata pembawa surat ini, Raja itu tinggal di pegunungan sekitar empat hari perjalanan dari Batavia. Tidak berada di bawah pengaruh Bantam (Banten) maupun Mataram, melainkan hanya di bawah Tuhan Surga¹. Kerajaan ini terdiri dari lima pria, termasuk Raja, tujuh wanita, dan enam anak. Mereka tidak mengonsumsi ikan atau daging atau apa pun yang hidup; mereka tidak menanam atau menuai tetapi puas dengan buah-buahan yang dihasilkan dari alam dan hutan. Meraka adalah pengikut Muhammad tetapi berharap dikenali sebagai orang-orang suci.
Setelah meninjau isi dari catatan harian itu tampak bahwa Scipio melaporkan bahwa terdapat surat yang diterima oleh Gubernur Jendral dari seorang raja di pegunungan (Conincq in ’t geberghte)2. Pada intinya surat itu menyatakan eksistensi sebuah “kerajaan” di wilayah pegunungan arah barat daya dari Batavia, dan tidak berada di bawah pengaruh Banten maupun Mataram. Disebutkan juga sejumlah penduduk termasuk raja itu sendiri.
Surat itu diterjemahakan ke dalam bahasa Belanda dari bahasa Jawa. Menarik untuk diamati, apakah “bahasa Jawa” yang dimaksud dalam catatan ini adalah bahasa Jawa (etnis Jawa), atau bahasa lain? Sunda, misalnya. Mengingat Raffless (1817) juga menyebutkan bahwa Bahasa Sunda adalah bahasa yang umum digunakan di pegunungan wilayah barat pulau Jawa.
Melihat jumlah orang yang terdapat di “kerajaan” ini yang sangat sedikit (5 laki-laki, 7 perempuan, 6 anak), mungkin hanya berupa keluarga (?), cukup menarik untuk didiskusikan. Mungkinkah yang dimaksud dengan “raja” di sini lebih cocok disebut sebagai pemimpin klan atau kelompok kecil (?). Tafsiran lain terhadap jumlah orang dalam keterangan ini dapat berarti jumlah anggota keluarga dari raja itu. Jika asumsi ini diambil, maka terbuka kemungkinan keberadaan keluarga-keluarga lainnya selain keluarga raja itu sendiri. Adapun mengenai nama raja dan nama tempat secara tepat juga tidak ada keterangan dalam catatan harian ini.
Keluarga raja ini disebutkan tidak mengonsumsi ikan, daging atau makhluk hidup lainnya, juga tidak menanam dan menuai (tidak bercocok tanam), namun cukup dengan mengonsumsi buah-buahan hasil hutan sekitarnya, menandakan hal yang lebih spesifik. Dalam istilah sekarang disebut sebagai vegetarian atau vegan. Pola diet tersebut lebih umum dilakukan oleh golongan agamawan, dalam hal ini resi, wiku, atau kalangan sejenisnya. Keterangan ini menimbulkan pertanyaan, apakah mungkin klan raja ini merupakan kelompok pertapa/resi? Atau dalam istilah yang lebih kuno disebut sebagai rajaresi?
Namun, keterangan berikutnya menyebutkan bahwa mereka adalah pengikut Muhammad, maksudnya agama Islam. Walaupun, tampaknya mereka dianggap sebagai orang suci. Mungkinkah wali atau ulama?
Wilayah barat daya dengan jarak tempuh empat hari dari Batavia juga cukup luas untuk ditelusuri. Banyak daerah dalam radius yang dimaksud, yang mungkin juga ditempati oleh klan-klan setempat. Atau memang hanya ada satu “kerajaan” ini saja?
Walaupun nama Raja Gagang disebutkan dalam laporan ini, namun perhatikan catatan kaki nomor (1) yang disediakan oleh De Haan. Hal ini sedikitnya dapat menjelaskan tentang istilah “Raja Gagang”, seperti dalam keterangan berikut ini pada halaman 131 di sumber yang sama:

(1) Vermoedelijk zal het oorspronkelijke stuk in plaats van „Conincq van Holland” hebben gelezen: Ratoe Agoeng; de translateur vertaalde dit naar den zin dien hij moonde dat ’t hebben moest (Conincq van Holland) en voegde (zooals wel meer gebeurt) ter verduidelijking eene opmerking van ziehzelf in het translaat, die vervolgens onjuist werd gecopieerd, doordat de q van Conincq dubbel werd gelezen.
Terjemahan:
(1) Dengan dugaan, dokumen aslinya mungkin telah disalahartikan. Alih-alih membaca “Raja Belanda,” kemungkinan mereka membaca: Ratoe Agoeng. Penerjemah menerjemahkannya dengan merasa bahwa seharusnya begitu (Raja Belanda) dan menambahkan (seperti sering terjadi) sebuah catatan dari dirinya sendiri untuk klarifikasi, yang kemudian disalin dengan tidak benar karena huruf ‘q’ dalam “Conincq” dibaca dua kali.
Saya kira, keterangan ini memberikan petunjuk yang cukup mencerahkan. De Haan menduga bahwa nama “Raja Gagang” kemungkinan salah pembacaan dari sang penerjemah dari kata “Ratoe Agung” yang dianggap oleh penerjemah harus diterjemahkan sebagai Raja Belanda (Conincq van Holland). Mengapa? Jika dilihat dari struktur kalimat dari terjemahan suratnya, terdapat indikasi bahwa “Raja Gagang” merujuk pada sosok raja yang disebutkan oleh Kapten Moor.
Saya coba runut kembali terjemahan setiap kalimat dari suratnya:
- “De Heer zij gegroet” – Pujian kepada Tuhan.
- “Dese brieff comt” – Surat ini datang.
- “van de Conincq in ‘t gebergte” – dari Raja Gunung.
- “aen den Cappitain Moor” – Kepada Kapten Moor.
- “die het gebied heeft over de volckeren van Batavia” – Yang memiliki wewenang atas masyarakat Batavia.
- “opdat hij deselve magh voortsenden aen den Conincq van Holland” – agar dia (Kapten Moor) dapat meneruskannya kepada Raja Belanda.
- “bij haer genoemt den Conincq Gaggangh (1)” – yang oleh dirinya disebut Raja Gaggangh (1)
Kuncinya berada pada frasa terakhir “bij haer genoemt den Conincq Gaggangh (1)“. Secara harfiah dapat diterjemahkan menjadi “disebut oleh dirinya sebagai Raja Gagang”. Walaupun kata “haer” umumnya berarti “her” (pronomina feminim) dalam bahasa Inggris, tetapi dalam konteks kalimat bahasa Belanda abad ke-17 penggunaannya cenderung longgar, sehingga dapat berarti juga sebagai pronomina maskulin. Di mana artinya, kata haer (dirinya) tentu merujuk kepada Kapten Moor. Adapun “den” adalah bentuk partikel arkaik dari “de” yang mendahului kata “Conincq Gaggangh“.
“Conincq” artinya “raja” yang dalam bahasa daerah (Jawa atau Sunda) juga disebut “ratu”. Sedangkan “Gaggangh” (baca: gagang), dengan berasumsi bahwa naskah surat aslinya menggunakan aksara Jawa, maka ditulis sebagai ꦒꦒꦁ (gagang), yang memiliki kedekatan bentuk dengan ꦲꦒꦸꦁ (hagung, aksara ha dapat dibaca a saja di awal kata). Bentuk aksara ga ꦒ cukup mirip dengan ha ꦲ, dan suku untuk vokalisasi u pada suku kata “gung” ꦒꦸꦁ mungkin terlewat pembacaannya.
Dengan pendekatan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa dalam konteks laporan Scipio tersebut, surat itu berisi informasi dari Raja Gunung (Raja di pegunungan) yang disampaikan melalui Kapten Moor. Adapun surat itu ditujukan kepada Ratu Agung alias Raja Gagang, yaitu Raja Belanda. Tak heran juga jika Kapten Moor menyebut Raja Belanda sebagai Ratu Agung, yang tampaknya bertujuan untuk lebih memudahkan pemahaman konsep dengan istilah setempat pada waktu itu.
Jadi, dugaan De Haan tampaknya cukup kuat! bahwa yang dimaksud dengan “Conincq Gaggangh” adalah kesalahan sang penerjemah surat dari kata “Ratu Agung”. Sehingga, tidak relevan lagi jika mengasumsikan bahwa Raden Jayasasana (Dalem Cikundul) adalah yang dimaksud dengan “Raja Gagang”. Lagipula, letak Cikundul maupun Cianjur berada di arah tenggara dari Batavia, bukan di barat daya.
Jika ada masukan, koreksi atas terjemahan sementara yang saya buat di atas, atau pendapat lain terkait Raja Gagang silakan berikan komentar ya.
__________
1 “Heere des Homels” adalah istilah dalam bahasa Belanda yang berarti “Tuhan di Surga”, “Tuhan di Langit”, atau “Tuhan Yang Maha Kuasa”. Dalam konteks teks di atas, istilah ini mungkin digunakan untuk merujuk kepada kekuasaan yang lebih tinggi atau tuhan yang diakui oleh raja di pegunungan.
2 Dalam bahasa Belanda modern disebut: Koning in de bergen
Terakhir diedit: 9 Desember 2023

Pemerhati sejarah dan budaya Cianjur, pembaca naskah Sunda kuno, pengulik musik tradisi. Pengguna setia Linux.