Suatu sore saya mendapatkan pesan Whatsapp dari Mbak Hani Hasanah, Yayasan Lontar. Isinya flyer undangan bertajuk “The Smiling Semar from America” tanggal 4 Desemeber 2022 jam 18.00-21.00 WIB. Dalam flyer undangan itu juga terdapat rincian acara berupa diskusi dengan topik “A Lasting Legacy: Tantangan Preservasi Wayang di Masa Depan”, Pertunjukan ‘Condensed Wayang Golek Performance‘ oleh Ki Warsad, dan pemutaran film “The Smiling Semar from America“. Lokasi acaranya yaitu di Salihara Art Center, daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
<capture undangan>
Ini undangan yang menarik dan penting saya kira. Mengingat pertunjukan wayang golek, khususnya golek cepak Indramayu sudah sangat jarang bisa disaksikan secara langsung dalam kemasan pertunjukan khusus. Terlebih lagi, jauh-jauh sampai datang ke Jakarta. Saya penasaran juga soal film yang akan diputar dan diskusinya, mungkin menarik juga untuk lebih memahami upaya preservasi wayang yang dilakukan oleh Yayasan Lontar.
Satu lagi yang membuat saya semakin tertarik untuk menghadiri undangan istimewa ini yaitu kehadiran Ki Warsad, yaitu maestro dalang wayang golek cepak Indramayu. Nama Ki Warsad sempat saya bahas dalam artikel berbahasa Jawa-Cirebon dalam majalah Pesisir terbitan Balai Bahasa Jawa Barat. Senang sekali rasanya kalau bisa berjumpa langsung dengan Ki Warsad. Di dalam kepala langsung muncul berbagai bahan pertanyaan kalau bertemu dengan beliau.
Artikel lengkapnya bisa dibaca di sini
Di momen langka ini saya mengajak istri dan anak untuk ikut menghadiri undangan Yayasan Lontar. Setelah saya ceritakan ketertarikan dan makna kehadiran saya dalam acara itu, alhamdulillah istri dan anak saya mau ikut. Sekalianhealing menonton “konser” live wayang. Mumpung tidak terlalu jauh dari rumah. Ya, ini acara yang baik untuk mengenalkan pertunjukan kesenian tradisional Jawa Barat kepada anak saya, Aksa. Kalau sebelumnya Aksa hanya tahu wayang golek itu di tayangan TV atau YouTube, kini bisa langsung menontonnya di gedung kesenian yang representatif. Mantap!
Berangkat menuju Salihara Art Center
Pada tanggal yang sudah ditentukan dalam undangan (4 Desember 2022) kami berangkat sekitar bada ashar dari rumah. Tujuannya langsung ke lokasi Salihara Art Centre di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Sempat mampir dulu ke masjid tidak jauh dari lokasi untuk sholat magrib. Selepas sholat langsung menuju Jl. Salihara.
Setelah parkir dan melihat-lihat situasi, kami mendatangi meja registrasi peserta dan tamu undangan. Sudah ada nama saya juga di daftar itu karena memang sudah registrasi di awal. Sebagai tanda peserta diberikan stiker bulat berwarna, “lucu juga ya stikernya”, kata Aksari. Mungkin tanda ini untuk membedakan tamu undangan acara dengan orang lain yang datang ke kafe yang juga ada di lokasi. Walhasil, kita bisa masuk ke ruangan amfiteater utama.
Disambut Mbak Hani
Di lobi gedung amfiteater kami disambut oleh Mbak Hani yang baik hati. Beliau yang menyampaikan undangan acara ini kepada saya. Sebagai panitia, Mbak Hani sangatwelcome dan hangat menyambut para tamu undangan, dan juga mempersilakan untuk menikmati hidangan makanan dan camilan yang sudah disediakan untuk para tamu.
Oh ya, sedikit flash back, saya kenal Mbak Hani ketika ada kegiatan pelatihan menulis konten Wikipedia di Bandung sekitar tahun2018. Waktu itu komunitas Wikimedia Bandung dan Wikimedia Indonesia bekerja sama dengan Yayasan Lontar untuk mengadakan pelatihan penulisan Wikipedia dengan topik sastrawan wanita Indonesia. Kebetulan saya adalah salah satu pengurus Wikipedia Bahasa Sunda. Jadi sekalian saja saya mendukung kegiatan itu sebagai sukarelawan, mumpung rumah masih di Bandung saat itu.
Wikilatih Bandung tlh terlaksana dgn baik Sabtu lalu. Terima kasih teman2 peserta yg telah berpartisipasi & merintis artikel baru. Terima kasih teman2 Wikipediawan Bandung & @wikimediaid atas kerjasama yg baik. Semoga semakin banyak informasi penulis Indonesia bs diakses online pic.twitter.com/r3wl9mLHLp
— Lontar Foundation (@LontarF) December 17, 2018
Acara segera dimulai
Ketika tiba saat itu acara belum dimulai. Setelah berbincang-bincang sebentar dengan Mbak Hani, panitia yang lain mempersilakan para hadirin untuk masuk ke ruang utama amfiteater. Saya bersama anak dan istri langsung mengikuti arahan dari panitia. Mbak Hani juga mempersilakan kami untuk masuk.
Pertama kali memasuki ruangan amfiteater, suasananya seperti mau masuk ke dalam bioskop. Hawa dingin menyeruak setelah melewati pintu samping ruangan. Nuansa dekorasi interior berwarna hitam memberikan suasana yang “khidmat”. Kami masuk dari pintu samping kanan, lalu terus menuju arah depan dan barulah naik tangga dengan kursi-kursi penonton yang ditata semakin ke belakang semakin ke atas.
Persis seperti bioskop. Bedanya, kalau bioskop di bagian depan penonton adalah dinding dan layar, kalau ini ada panggung dan dekorasi. Jadi kursi paling depan itu posisinya hampir sejajar dengan panggung pertunjukan. Penonton yang lebih belakang posisinya semakin tinggi. Dengan posisi seperti ini, semua penonton bisa menyaksikan pertunjukan tanpa terhalangi badan penonton di depannya.
Di area depan atau lantai pertunjukan sudah tertata rapi panggung wayang dengan deretan karakter wayang di sayap kiri dan kanannya, menghadap ke arah penonton. Di belakang tempat wayang berjejer dan tempat duduk dalang, tersusun rapi seperangkat gamelan wayang lengkap. Hanya saja, penabuh gamelan dan Ki Dalang belum ada di tempat.
Kami duduk agak atas hampir di bagian tengah sayap kanan kursi penonton. Sekitar bangku keenam atau ketujuh dari depan. Cukup nyaman untuk menonton pagelaran wayang, walaupun agak jauh jaraknya dari para pemain wayang. Melihat set panggung yang bagus dan nyaman itu, istri dan anak saya juga tampak bersemangat dan penasaran dengan pertunjukan yang akan dimulai.
Orang-orang yang hadir
Oh ya, awalnya saya tidak akan mengira siapa saja yang hadir dalam acara ini. Setelah beberapa saat berbincang dengan Mbak Hani dan melihat-lihat situasi sekitar, ternyata banyak orang-orang penting yang berkecimpung dalam bidang kebudayaan Indonesia. Beberapa yang sempat saya dengar namanya atau lihat orangnya yaitu Hilmar Fariz (Dirjen Kebudayaan), John McGlynn, Duta Besar Amerika untuk Indonesia, dan juga kolega-kolega Yayasan Lontar lainnya baik dari Indonesia maupun dari luar negeri. Selebihnya, banyak orang-orang belum saya kenal karena baru berjumpa di acara ini.
Pagelaran
Sekitar jam 19.00 acara dimulai. Serangkaian pidato dari para tokoh yang hadir mengawali pembukaan. Pidato yang agak panjang disampaikan oleh John H. McGlynn, yaitu pendiri dan ketua Yayasan Lontar. Ia menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan sebuah bentuk penghargaan dari Yayasan Lontar dan kolega untukGregory Churchill (1947-2022).
Greg adalah ahli hukum dan kolektor wayang Indonesia. Ia telah berpulang dengan meninggalkan kenangan dan ‘warisan’ yang sangat berharga, yaitu koleksi lebih dari 8.000 wayang. Selain koleksi bendanya, ia juga telah menghibahkan ribuan foto dan arsip wayang. Sungguh koleksi yang luar biasa besar untuk ukuran perorangan.
Seluruh koleksi wayang mendiang Greg dihibahkan oleh keluarga kepada Yayasan Lontar untuk dipreservasi dan sebagai sarana untuk memperkenalkan budaya Indonesia ke masyarakat yang lebih luas. Sebuah film pendek dokumenter telah dibuat untuk mengenang mendiang Greg dan akan diputar dalam rangkaian acara.
Pidato-pidato sambutan telah selesai. Selanjutnya panggung disiapkan untuk pergelaran wayang golek cepak. Para penabuh mengisi tempat yang telah disediakan untuk masing-masing. Ki Dalang Warsad memasuki panggung, menempati posisi tengah paling depan menghadap penonton, tepat di ‘arena’ permainan wayang. Suasana hening terasa semakin khidmat.
Tuk tuk gong! dalam sekali aba-aba penabuh gamelan mulai memainkan gending pembukaan yang menggelegar dalam laras pelog. Nuansa gending khas Cirebon-Indramayu mulai menyeruak ke penjuru amfiteater. Tabuhan kendang, saron dengan lilitan suara suling bagai menyayat hati, menggetarkan rasa dan melambungkan angan. Gambaran dunia seketika terasa lenyap, masuk ke dalam alam pewayangan. Gegunungan ditancapkan tepat di tengah, sementara gending terus mengalun.Mata tertuju ke tengah arena wayang.
Menonton pagelaran wayang secara langsung seperti ini mungkin kali pertama untuk istri dan anak saya. Sepertinya mereka sangatexcited melihat langsung permainan gamelan dan wayang. Sepanjang pagelaran berlangsung, istri dan anak saya cukup banyak bertanya tentang detail pertunjukan, mulai dari alur kisah, tokoh-tokoh wayang yang dimainkan, musik dan macam-macam lagi. Saya coba jelaskan sebisa mungkin yang saya ketahui tentang pertunjukan wayang secara umum.
Bagi saya sendiri sebetulnya sudah pernah beberapa kali menonton pertunjukan wayang secara langsung. Misalnya waktu di Bandung atau di Cianjur. Malahan di Cianjur saya ikut jadi salah satu penabuh gendingnya. Pagelaran wayang secara tradisional di daerah tentunya menggunakan set panggung yang berbeda. Para penabuh gamelan dan dalang duduk di panggung yang lebih tinggi dari penonton, sedangkan penonton duduk di depan panggung menghadap agak ke atas arah panggung. Kalau menonton pertunjukan wayang golek dengan set panggung amfiteater, ini yang baru pertama kali saya alami. :D.
Ringkasan cerita
Waktu saya menulis blog ini, kisah lengkap dari pagelaran wayang golek Ki Warsad sudah agak-agak lupa. Lagi pula, kisahnya dituturkan dalam bahasa Jawa-Cirebon/Indramayu. Jadi sebagian kecapi saja alurnya yang saya bisa mengerti. Kalau disimak secara umum kisahnya bukanlah kisah biasa yang ada di pagelaran wayang golek cepak, tetapi kisah kontemporer yang menyesuaikan dengan tema acara. Begini seingat saya:
Pada suatu hari dikisahkan kedatangan seorang manusia, yang diperankan oleh tokoh Semar, ke sebuah negeri. Kedatangannya itu disambut oleh Si Lamsijan yang kebetulan lewat. Dengan penasaran Si Lamsijan bertanya-tanya kepada Semar, siapakah gerangan orang asing ini dan apa maksud kedatangannya. Tampaknya Si Lamsijan sangat heran dengan orang yang baru ia temui saat itu. Semar lalu menjelaskan dirinya berasal dari negara yang jauh di seberang lautan, yaitu Amerika. Kedatangannya yaitu untuk merawat dan menjaga benda pusaka negeri yang ia kunjungi. Semar hendak menjumpai pemimpin negeri itu untuk menyampaikan maksudnya. Si Lamsijan bisa mengerti maksud dari Semar lalu bersedia mengantarnya untuk bertemu sang pemimpin negeri.
Dalam perjalanan mereka dihadang oleh sekawanan bandit setempat. Para bandit itu menanyakan siapa mereka dan ke mana tujuannya. Semar menjelaskan persis seperti yang telah disampaikan kepada Si Lamsijan. Namun, para bandit tidak percaya kepada Semar dan hendak menyerang Semar, sehingga terjadilah pertarungan antara bandit-bandit melawan Si Lamsijan yang membela Semar. Adu jurus silat tak bisa terelakkan. Singkat cerita, para bandit mampu dihalau. Mereka lalu melanjutkan perjalanan.
Setibanya di negeri yang dimaksud, Si Lamsijan undur diri dari Semar setelah mengantarkannya ke hadapan pemimpin negeri. Terjadilah percakapan yang mendalam antara Semar dengan sang pemimpin negeri. Pertanyaan yang sama dilontarkan oleh Sang Pemimpin Negeri. Semar menjawab dengan seksama. Ia menjelaskan bahwa dirinya berasal dari negeri Amerika, sebuah negeri jauh di seberang lautan. Maksud kedatangannya ke negeri itu adalah untuk merawat pusaka paling berharga dari negeri itu, dengan tanpa pamrih dan sukarela. Sang pemimpin negeri mengerti maksud Semar dari Amerika ini. Kemudian ia mengizinkan Semar untuk tinggal di negerinya dan turut merawat warisan pusaka negeri itu hingga akhir hayatnya.
Kalau disimak dengan seksama, tampaknya kisah Semar ini merupakan refleksi dari kiprah Greg. Khususnya dalam mengumpulkan ribuan wayang selama puluhan tahun. Penampilan wayang yang sangat mengalir dan cair, sesekali diselingi guyonan, mampu membawa kisah perjalanan kiprah Greg ke dalam dunia wayang dengan sangat apik dan menarik. Namun, pesan mendalam yang dikandung di dalamnya dapat tersampaikan dengan baik. Paling tidak, secara visual melalui adegan. Tentu saja, kalau bisa mengerti bahasanya, akan lebih bermakna lagi.
Diskusi dan Pemutaran Film
Diskusi menghadirkan beberapa pembicara, di antaranya Dolorosa Sinaga (Seniman, Aktivis Sosial), Sri Kusumawati (Kepala Unit Pengelola Museum Seni Pemerintah Provinsi DKI Jakarta), Mathew Isaac Cohen (Akademisi dan Pemerhati Wayang, University of Connecticut), dan moderator Farah Wardhani (Kurator, Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta). Sedangkan, film dokumenter Semar Mesem dari Amerika (The Smiling Semar from America) berisi kenangan dan napak tilas terhadap karier Greg dan kecintaannya pada wayang Indonesia, dengan testimoni dari keluarganya di Amerika Serikat dan Indonesia.
Belakangan ternyata film dokumenter in diunggah oleh Yayasan Lontar ke kanal Youtube milik mereka. Simak film pendek The Smiling Semar from America di video berikut ini:
Yang berkesan
Ini adalah kali pertama untuk istri dan anakku menonton pagelaran wayang secara langsung, lengkap dengan penabuh gamelannya. Pengalaman baru buat mereka. Bagi saya, juga tentu pengalaman baru menonton wayang golek cepak. Sebelumnya, pernah beberapa kali nonton (dan juga jadi salah satu penabuh gamelan) wayang golek purwa dari tatar Sunda. Banyak hal yang ditanyakan istri dan anakku ketika pagelaran berlangsung. Menanyakan tokohnya, alat musiknya, bahasanya, dan macam-macam lagi. Keingintahuan mereka timbul seketika gamelan mulai ditabuh dan kisah mulai ditampilkan. Beberapa bisa saya jelaskan secara singkat, selebihnya jadi PR, karena akan panjang jika dijawab.
Berbincang dengan Ki Dalang Warsad
Di sela-sela pemutaran film, saya menyempatkan diri untuk menjumpai Ki Dalang Warsad di belakang panggung. Atas bantuan dari Mbak Hani, saya bisa berjumpa dan berbincang cukup lama di penginapan seniman di belakang tempat pertunjukan. Banyak hal yang kami bicarakan, mulai dari pengalaman saya menuliskan artikel tentang wayang golek cepak, sampai curahan hati Ki Warsad yang melihat kondisi seni pertunjukan wayang golek cepak yang semakin kekurangan penerus. Dalam artian, regenerasi dalang dan pemain musiknya yang cenderung sulit, sehingga dikhawatirkan wayang golek cepak akan punah.
Saya cukup memahami kekhawatiran Ki Warsad, tetapi dalam perbincangan itu saya tetap memberikan semangat dan saran-saran alternatif sebisa saya. Pertunjukan khusus wayang golek cepak di Salihara merupakan salah satu pertanda baik bahwa kesenian tradisi ini masih diapresiasi oleh khalayak luas. Apalagi, setelah covid-19 yang melanda dunia dalam dua tahun terakhir.
Setelah berbincang cukup lama dan mendalam dengan Ki Warsad, saya kembali ke dalam panggung bersama beliau untuk mengikuti sesi foto bersama di penghujung acara. Kami muncul dari belakang panggung, lalu istri dan anak saya ikut menyambut turun dari tempat penonton ke depan panggung untuk mengabadikan momen ini.
Semoga Ki Dalang Warsad beserta keluarga dan rombongan seni wayang golek cepak Indramayu tetap bersemangat melanjutkan seni warisan leluhur yang tak terhingga nilainya. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk Mbak Hani dan Yayasan Lontar yang telah mengundang dan menerima kami di acara ini.
Pemerhati sejarah dan budaya Cianjur, pembaca naskah Sunda kuno, pengulik musik tradisi. Pengguna setia Linux.