Penerjemah Paruh Waktu Bahasa Sunda dan Permasalahnnya

Sejak beberapa tahun belakangan saya telah mengikuti platform situs web freelancer yang tersedia di internet seperti Upwork, Project.id, dan Fiverr. Tujuannya adalah untuk melihat perkembangan para freelancer yang berkecimpung dalam penerjemahan bahasa Sunda, baik dari bahasa lain ke bahasa Sunda maupun sebaliknya. Dalam beberapa kesempatan, saya juga ikut megambil peluang penerjemahan atau penyuntingan terjemahan bahasa Sunda yang telah dikerjakan oleh penerjemah lainnya.

Selama beberapa waktu setelah bergabung, ada kesan yang saya dapatkan terhadap hasil terjemahan penerjemah lain yang telah saya sunting dan perlu untuk saya kemukakan sebagai gambaran umum. Para penerjemah bahasa Sunda di beragam platform situs freelance umumnya bermodalkan sebagai penutur asli atau native speaker. Terjemahan yang dihasilkan memang bisa cukup dimengerti, tetapi kualitas tata bahasa dan pemilihan kata yang dikerjakan belum bisa dibilang memadai. Dari kesan itu, saya beranggapan bahwa mereka umumnya tidak memilki latar belakang pendidikan formal bahasa (linguistik) atau sastra Sunda.

Kesalahan umum yang saya temukan adalah kebanyakan kosakata yang digunakan masih “sangat Indonesia”. Artinya secara gramatikal maupun mofologis masih mengikuti kaidah bahasa Indonesia dan tidak lazim digunakan dalam bahasa Sunda. Misalnya saja, kata mangrupikeun (ragam hormat) atau mangrupakeun (ragam loma) yang bentuknya mungkin diubah langsung dari bahasa Indonesia merupakan. Padahal dalam bahasa Sunda terjemahannya adalah mangrupi (ragam hormat) atau mangrupa (ragam loma). Kata lain yang tidak lazim adalah kalolobaanana yang mungkin maksudnya adalah kebanyakannya dalam bahasa Indonesia. Padahal dalam bahasa Sunda ada kata lolobana yang dapat digunakan untuk terjemahan yang lebih baik. Untuk menemukan kosakata bahasa Sunda yang tepat, kamus bahasa Sunda tentu sangat diperlukan.

Penggunaan kata depan (preposisi) di sebagai penunjuk lokasi sering tertukar dengan imbuhan depan di-, misalnya pada kata diimah dan di bajuan, yang seharusnya ditulis di imah (di rumah) dan dibajuan (dipakaikan baju). Akhiran –an sering ditulis terpisah, misalnya bapa na, dan ukuran na yang seharusnya ditulis menyambung, yaitu bapana (bapaknya), dan ukuranna (ukurannya).

Ragam bahasa yang digunakan dalam terjemahan bahasa Sunda seringkali tidak konsisten. Dalam sebuah kalimat yang sama terkadang ditemukan percampuran antara ragam bahasa hormat dan loma sekaligus, sehingga kurang sesuai dengan kaidah tata bahasa Sunda yang baik. Ragam bahasa yang digunakan untuk tulisan yaitu ragam loma, seperti halnya yang digunakan pada penerbitan buku-buku Sunda, majalah, skripsi, maupun media masa bahasa Sunda. Penggunaan ragam bahasa hormat mungkin bisa diterima dalam konteks tertentu.

Bagi penerjemah penutur asli yang belum terbiasa membaca buku, kamus, atau majalah berbahasa Sunda mungkin akan merasa aneh, dan menganggapnya sebagai bahasa yang ‘kasar’. Sehingga, mereka lebih memilih untuk menggunakan ragam bahasa hormat, daripada bahasa loma. Seperti kebiasaan mereka sehari-hari dalam menuturkan bahasa Sunda secara lisan. Padahal, Oleh karena itu, saya menyarankan kepada para penerjemah paruh waktu untuk lebih sering meluangkan waktu membaca buku, majalah, atau koran berbahasa Sunda yang telah diterbitkan. Tentunya, agar lebih terbiasa menggunakan ragam loma dalam terjemahannya.   

Kelemahan lain dari banyak hasil terjemahan para penerjemah paruh waktu adalah kosakata yang tidak sesuai dengan kamus. Dalam beberapa kasus, bisa saya terima dan dianggap sebagai kosakata dialek. Tetapi, kesalahan mendasar penulisan seperti panyang, buwah, mening, handeel, dan sebagainya  (seharusnya ditulis panjang, buah, mending, handeueul) seharusnya tidak terjadi secara berulang.

Tampaknya, para penerjemah itu jarang sekali atau mungkin tidak pernah sama sekali (?) menggunakan kamus bahasa Sunda, sehingga mereka menuliskan terjemahan bahasa Sunda sesuai impresi ujaran lisan, tanpa mengetahui cara menuliskannya dengan benar. Semestinya, seorang penerjemah wajib “bergaul” dan “akrab” dengan kamus. Tidak terkecuali bagi penerjemah bahasa Sunda.

Beberapa kamus bahasa Sunda yang dapat digunakan antara lain A Dictionary of the Sunda Language of Java (Jonathan Rigg, 1862), Soendanesch-Holandsch Woordenboek (Coolsma, 1913), Kamus Basa Sunda (Satjadibrata, 1948), Kamus Basa Sunda (LBSS, 1875), Soendaas-Nederlands Woordenboek (Eringa, 1984), Soendanese-English Dictionary (Hardjadibrata, 2003), Kamus Basa Sunda (Danadibrata, 2006). Beberapa kamus tersebut masih dicetak ulang dan diterbitkan sampai sekarang. Cukup mudah mendapatkannya di toko-toko daring yang tersedia dengan harga beragam.  

Ejaan juga menjadi masalah mendasar yang saya temukan dari hasil terjemahan bahasa Sunda. Hampir bisa dipastikan, bahwa para penerjemah paruh waktu bahasa Sunda kebanyakan belum pernah membaca, atau belum menguasai kaidah ejaan bahasa Sunda yang baik dan benar. Untuk mempelajarinya, bisa digunakan Palanggeran Éjahan Basa Sunda terbitan Universitas Pendidikan Indonesia. Atau, bisa juga dilihat beberapa bagiannya di Wikipedia Basa Sunda/Palanggeran Éjahan Basa Sunda.  

(Ciputat, 8 Desember 2020)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *