Judul: Oidipus Sang Raja
Pengarang: Sophokles
Penerjemah: Rendra
Penerbit: Dunia Pustaka Jaya
Tahun Terbit: 2009 (cetakan kedua)
ISBN: 978-979-419-362-4
Kisah tragedi gubahan Sophokles, seorang sastrawan zaman Yunani kuno ini pertama kali dipentaskan tahun 429 Masehi. Teksnya telah diterbitkan dalam edisi terjemahan ratusan bahasa, sehingga menjadi khazanah sastra dunia. Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia diusahakan oleh Rendra, dan terbit pertama kali tahun 1976 oleh penerbit Dunia Pustaka Jaya. Dalam cetakan kedua, tidak ada perubahan berarti. Perubahan hanya dilakukan atas ejaan (ejaan lama menjadi EYD), tata letak dan sampul buku.
Rendra menerjemahkan kisah Oidipus dengan begitu indah. Terasa dengan bahasa puisinya yang begitu kaya. Sudah barang tentu penerjemahan demikian menyesuaikan dengan rasa bahasa yang terkandung dalam teks aslinya (Yunani), atau setidaknya dalam bahasa sumbernya (Inggris?) sebelum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Bentuk teksnya dipertahankan sebagai sebuah ode, dengan pemeran, paduan suara, adegan-adegan, dan nyanyian yang dilakukannya. Walau demikian, alur cerita terasa berjalan dengan lancar.
Kisah ini terdiri atas prologos (prolog), parados (nyanyian permulaan tragedi), empat episidion (episode), tiga stasimon (nyanyian tragedi), eksodos (adegan penutup), kommos (nyanyian penutup), dan epilogos (epilog).
Awal kisah dimulai dengan kedatangan demonstran yang tak lain adalah penduduk Thebes ke depan istana. Oidipus menemui mereka untuk mendengar permasalahan yang melanda Thebes. Seorang pendeta mewakili suara rakyat Thebes, lalu membeberkan berbagai musibah yang melanda kota itu. Wabah penyakit, kemandulan, badai, hama, membawa kemusnahan bagi segala pengisi kota Thebes.
Creon, adik ipar Oidipus kemudian diutus ke kuil Pythea untuk meminta petunjuk dewa Apollo. Sabda dewa berisi pesan bahwa sebuah noda telah tumbuh di bumi Thebes, dan harus ditebas sebelum teguh akarnya. Noda itu adalah sebuah pembunuhan raja sebelumnya, Raja Laius. Pelakunya terdapat di Thebes. Atas keterangan itu Oidipus bersumpah untuk memburu sang durjana untuk dihukum seberat-beratnya. Paduan suara (sthrope dan antisthrope) menyanyikan lirik-lirik doa atas tragedi yang terjadi di Thebes.
Oidipus bertanya kepada paduan suara tentang siapa pelaku kejahatan tersebut, namun pemimpin paduan suara hanya menjawab dengan ketidaktahuan. Dipanggillah Teirisias, seorang pertapa buta tua yang dianggap mengetahui duduk perkara bencana itu. Dia ditanya oleh Oidipus, dengan jawaban berupa teka-teki. Menurutnya jawaban atas pertanyaan sang raja hanya akan membuka aib sendiri. katanya, “Rahasia mesti terbuka sendirinya, meskipun aku tak bicara.”
Creon dituduh bersekongkol dengan Teirisias dan hendak mencuri tahta sang raja. Dia diancam dengan hukuman buang, tetapi Oidipus tidak dapat membuktikan tuduhannya. Jocasta, sang ratu bertanya apa sebab Oidipus marah besar. Setelah Oidipus bercerita bahwa dia dituduh Teirisias sebagai orang yang membunuh raja Laius, Jocasta lalu mencegah Oidipus untuk mempercayai pertapa buta itu. Jocasta yakin bahwa tujuman para Dewa tidak terbukti, sebab dalam tujuman itu raja Laius akan dibunuh oleh anak kandungnya. Sedangkan dari cerita yang beredar, raja Laius bukan dibunuh oleh anaknya sendiri, melainkan segerombolan orang.
Oidipus merasa resah karena teringat kepada seseorang yang pernah mengejeknya di kerajaan Corintha. Orang itu menyebut Oidipus bukan anak kandung raja Polybus, penguasa Corintha. Untuk mendamaikan hatinya, ketika itu ia pergi menuju Delphi untuk bertanya kepada dewa Apollo. Bukannya jawaban atas kegelisahannya, tetapi Oidipus malah mendapatkan tujuman bahwa ia akan menikahi ibu kandungnya sendiri dan melahirkan keturunan yang seram tampaknya. Selanjutnya dewa berkata bahwa dia akan membunuh ayahnya sendiri. Karena itu Oidipus berlari mengasingkan diri jauh dari negeri Corintha.
Dalam perjalanannya itu, dia sampai di Pochis, yaitu tempat Laius menemui ajalnya. Ketika di persimpangan jalan itu, ia berpapasan dengan orang tua yang naik kereta. perawakannya sesuai dengan gambaran raja Laius yang telah diceritakan oleh Jocasta. Para pengawalnya sigap menghadang. Tak pelak, perkelahian pun terjadi. Oidipus dengan terpaksa membunuh anggota rombongan, termasuk orang tua itu, kecuali satu orang. Orang itu adalah yang selamat dan membawa kabar kepada Thebes. Namun, setelah itu si pembawa kabar memilih untuk menjadi penggembala.
Setelah Oidipus sadar bahwa telah membunuh ayah kandungnya sendiri, ia menyumpahi dirinya sendiri sebagai orang yang paling kotor dan berdosa. Secercah harapan masih dinanti oleh Oidipus dan Jocasta, yaitu keterangan dari si gembala. Bila kesaksiannya sama seperti yang diketahui oleh Jocasta, bahwa raja Laius dibunuh oleh sekawanan orang, bukan seorang, maka ia masih memiliki peluang untuk bebas dari tuduhan. Jocasta pun yakin bahwa putranya telah meninggal jauh sebelum kematian raja Laius.
Dalam keadaan yang serba tak menentu di Thebes, datanglah seorang utusan dari Corintha. Dia mengantar pesan gembira dan duka. Kabar gembiranya adalah Oidipus akan dinobatkan menjadi raja di Corintha, tetapi penobatan itu atas berita duka bahwa raja Polybus telah wafat karena penyakit telah uzur. Atas berita itu Oidipus dan Jocasta merasa lega, karena terbukti sudah bahwa raja Polybus pun meninggal bukan karena dibunuh oleh anaknya. Mereka yakin tujuman dewa salah.
Dengan tak terduga, orang dari Corintha itu membuka rahasia yang lama terpendam atas diri Oidipus. Dia menyatakan bahwa Oidipus bukanlah anak kandung raja Polybus karena dia tidak bisa memiliki putra. Sedangkan Oidipus adalah anak pemberian. Utusan itulah yang memberikan Oidipus kepada sang raja. Orang Corintha itu menemukan Oidipus bayi ketika menggembala di lembah Chitareon, wilayah Thebes. Dia melihat seorang bayi dengan kaki yang terpaku, maka ia membebaskannya. “Itulah sebabnya ‘Oidipus’ nama paduka. ‘Kaki yang cacat’ itulah artinya.” kata orang Corintha itu.
Oidipus bahkan tak bisa menahan dadanya yang hampir meledak ketika orang Corintha itu mengatakan bahwa ia tidak seorang diri menemukan Oidipus bayi, tetapi seorang penggembala budak Laius yang bersikeras memintanya untuk membawa Oidipus bayi. Rasa penasaran Oidipus yang menjadi-jadi tak lekas membuat Jocasta terhanyut. Jocasta tetap meminta Oidipus untuk tidak mempercayai segala keterangan yang telah terkuak. Keduanya tak bisa menemukan titik temu atas pendapatnya masing-masing.
Gembala yang ditunggu itu akhirnya datang. Oidipus yakin bahwa orang itu adalah benar yang dimaksud, setalah orang Corintha itu betul-betul mengenalinya. Gembala itu menolak untuk menceritakan asal-muasal bayi di lembah Chitareon, tetapi setelah diancam siksaan, ia mengaku juga. Bayi itu adalah pemberian dari istana Laius. Ketika Oidipus bertanya bayi siapa itu, si gembala berkata “O, Apollo! Inilah saat yang sangat kutakutkan. Rahasia yang gawat harus kukatakan.” Jawab Oidipus, “Rahasia yang sangat kutakutkan namun harus kudengarkan.” Dengan tegas si gembala berkata “Kalau begitu, dengarkanlah ini: bayi itu putera Laius…”
Segala rahasia telah terbuka. Oidipus berkata pada dewa:
“O, Dewa!
Lihatlah kemenanganmu!
Semua benar seperti katamu!
Mentari! Cahaya!
Marilah kulihat kau untuk akhir kalinya.
Sekarang aku berdiri telanjang.
Lahir bernoda,
kawin berdosa,
tanganku membunuh
berlumur noda!”
Jocasta hilang akalnya. Menangis, meronta-ronta seperti orang gila. Dia meninggal dengan menggantung diri di kamarnya. Oidipus mengaduh dengan seram dan melepaskan tali yang menjerat lehernya. Setelah wanita itu dibaringkan, terjadilah puncak dan kengerian bencana. Oidipus membuka peniti mantel Jocasta. Diangkatnya cepat-cepat jarumnya ditusukkan ke matanya. Kedua matanya pecah dan buta.
Oidipus meminta dibuang dari Thebes. Satu permintaan terakhir sebelum ia dibuang, yaitu untuk menyentuh kedua anak perempuannya, Antigone dan Ismene. Creon menjadi raja Thebes dan mengurus anak-anak Oidipus seperti anaknya sendiri.
Begitulah kisah Oidipus Sang Raja. Berakhir dalam pembuangan karena sumpahnya sendiri.
Dalam kisah itu memang Oidipus telah berbuat noda dan dosa besar yang tak akan diampuni, dengan membunuh ayahnya dan menikahi ibunya. Oidipus dapat dipandang sebagai korban ibunya sendiri yang membuangnya sewaktu bayi. Tetapi di balik semua itu, bermula pada tujuman dewa Apollo.
Sophokles telah menunjukkan bahwa tujuman dewa Apollo tidak pernah meleset. Walaupun orang yang ditujum berusaha lari darinya, tetapi tujuman tidak dapat dihindari. Tapi apakah tujuan dari tujuman itu? Mungkin untuk menguji keimanan rakyat dan penguasa negeri Thebes yang sebelumnya makmur. Apakah mereka akan tetap beriman kepada sang dewa atau keimanannya akan pudar? Atau mungkin juga tragedi itu merupakan sebuah azab.
Saya tidak bisa membayangkan adegan-adegan itu bila terjadi dalam kehidupan nyata. Namun demikian, terlepas apakah kisah ini diangkat dari sebuah kisah nyata atau hanya mitos, saya sangat terkesan dengan kisah tragedi yang disusun 400 tahun sebelum masehi ini. Membaca terjemahannya saja mampu membangkitkan perasaan yang sangat teriris, setelah mengetahui kenyataan pahit yang menimpa Oidipus. Terlebih lagi susunan kalimat terjemahan Rendra menggunakan larik-larik yang berirama padu. Membuat hati menjadi sendu.[*Ilham Nurwansah]
Pemerhati sejarah dan budaya Cianjur, pembaca naskah Sunda kuno, pengulik musik tradisi. Pengguna setia Linux.