Litofon dan Gunung Padang (bag. 2/2)

Perjalanan dari gerbang situs Gunung Padang ke rumah pak Zaenal ternyata lumayan jauh. Dengan meniti jalan setapak, dan melewati lereng-lereng kebun di samping situs, Sampai di rumah pak Zaenal kira-kira pukul delapan malam, kami disambut dengan hangat oleh keluarga yang menunggu kedatangan kami. Setelah beristirahat sejenak, kami menyantap hidangan khas Gunung Padang, berupa kukus pisang dan ketela singkong yang baru diambil dadakan dari kebun di samping rumah milik pak Zenal saat itu juga.

Sungguh nikmat dan menambah hangat badan, di tengah tusukan dinginnya malam di bukit kawasan situs sambil mengobrol ringan dan berbagi cerita pengalaman. Tak disangka, ternyata Mike memiliki leluhur orang Indonesia juga. Sungguh menarik mendengar pengalamannya. Setelah saling bertukar cerita, kami pun berisitirahat, ditemani suara gemericik sungai kecil di dasar lembah samping bukit, suara burung malam dan serangga yang belum pernah saya dengar sebelumnya.

Cuaca pagi hari itu tampaknya menyambut kami dengan baik. Hangatnya sinar matahari perlahan menyibak kabut tebal yang menyelimuti bukit sekitar rumah Pak Zenal. Lama kelamaan menampakkan wujud kemegahan situs dari bagian samping. Kami bergegas menuju lokasi situs melewati jalur belakang. Jalur ini merupakan lintasan perkampungan warga yang melewati kebun dan bukit di selatan situs. Jalanan menanjak cukup curam ditempuh dengan peluh yang semakin bercucuran. Cukup untuk menghangatkan kaki dan pinggang. Bagi saya yang tidak terlalu sering naik-turun gunung, untuk melewati jalur ini cukup membuat pegal juga. Tapi mungkin bagi warga sekitar, terutama pak Zaenal yang melewati jalur ini setiap hari dalam tugasnya, sudah enteng saja.

Berfoto sebelum berangkat
(dari kiri: Pak Zaenal, Mike, Saya, Andri, saudaranya Andri)

Saya sudah beberapa kali berkunjung ke Gunung Padang. Tapi baru kali itu memasuki situs lewat belakang. Sungguh pemandangan yang berbeda dan membuat fikiran bertanya-tanya: apa yang akan kami temui sebelum masuk ke situs? Benar saja, di tengah perjalanan kami diajak oleh pak Zaenal untuk melihat satu “temuan” yang dikatakan baru, yaitu situs kolam tua dengan sebuah sumber mata air yang masih mengalirkan air jernih. Lokasinya berada di bukit selatan yang lebih tinggi dari situs Gunung Padang.

Kolam ini pada mulanya tertutup oleh tanah dan lumpur, kemudian oleh warga digunakan untuk sawah. Ketika mengolah sawah itu, terkuaklah struktur batuan yang tidak alami. Menurut keterangan pak Zaenal, kemungkinan besar kolam ini dibuat oleh orang-orang pada zaman situs Gunung Padang dan digunakan sebagai tempat bersuci dalam bagian ritual tertentu.

Kolam ini berada pada lahan milik salah seorang warga setempat. Namun oleh pemerintah daerah telah direncanakan untuk diakuisisi sebagai bagian dari situs Gunung Padang. Struktur kolam kemudian dibersihkan dan dirapikan oleh pengelola situs, sehingga dapat tampak dengan jelas. Pada “pulau” di tengah kolam ditanami bunga, dipasang umbul-umbul dan bendera merah putih. Sedangkan sumber mata air diberi saung atau naungan cungkup dari bambu dan ijuk aren. Di samping kolam terdapat undakan menuju sebuah lahan datar terbuka yang cukup luas. Pada lahan ini tampak bekas pondasi dan sisa dinding bangunan bertembok yang telah dirubuhkan. Bekas rumah itu dibiarkan kosong dan diganti dengan sebuah taman dan didirikan bangunan gazebo bambu beratap rumbia. Di sekelilingnya berupa sawah produktif yang masih digarap oleh warga.

Tempat ini sangat menarik, karena batuan yang terdapat di sekitarnya mampu menghasilkan bunyi yang nyaring, seperti pada batu gamelan Gunung Padang. Bahkan pada batuan yang berukuran besar sekalipun! Hal ini tentu menjadi informasi tambahan sehubungan dengan keberadaan litofon di Gunung Padang.

Kolam kuno dengan sumber mata air  di bukit dekat situs Gunung Padang.
Kolam kuno dengan sumber mata air
di bukit dekat situs Gunung Padang.

Di bagian samping lebih tinggi dari lahan datar itu terdapat bangunan semipermanen yang digunakan sebagai tempat beristirahat seorang penjaga situs. Dilengkapi dengan gudang alat-alat musik tradisional seperti kendang, goong, tarompet dan suling. Rupanya di tempat ini pada beberapa kesempatan diadakan pertunjukan seni kendang pencak.

Selain alat musik, di gudang ini disimpat sebuah batu pipih bundar dan batu bundar yang merupakan pasangannya. Diduga batu ini adalah sebuah cobek dan ulekan kuno yang masih terhubung dengan keberadaan situs Gunung Padang. Benda ini dianggap sebagai salah satu pusaka warisan leluhur. Setahun sekali dalam upacara “Nyeka Banda” atau ‘membersihkan benda (pusaka)’ dari sumber mata air di dekat pintu masuk di bawah situs, batu ini juga disertakan untuk dibersihkan.

Di ujung samping gudang, terdapat sebuah struktur galian berbentuk persegi yang tersusun dari bebatuan. Sekilas tampak seperti kolam dengan susunan batu yang melingkar di tengahnya. Lingkaran berdiameter sekitar 1,5 meter. Di dalamnya terdapat susunan batu besar yang terkumpul di pusatnya, dan sebuah batu yang berdiri. Menurut keterangan penjaga lokasi ini, bentuk struktur demikian tak sengaja ditemukan oleh warga yang sedang mengolah sawah. Memang, di sebelah struktur ini terdapat beberapa petak sawah, yang mungkin dulu masih satu bagian yang sama.

jam matahari?
jam matahari?

Belakangan, setelah saya berjumpa dengan Hokky pada siang harinya di situs utama, saya mendapat keterangan yang menarik tentang struktur ini. Ia menyatakan bahwa bila struktur itu adalah asli berbentuk seperti itu dari dulu sampai akhirnya ditemukan, maka kemungkinan besar merupakan sebuah jam matahari. Sebelumnya, ia bersama tim telah meneliti sebuah batu yang berdiri di tengah struktur ruangan berbentuk persegi di teras keempat Gunung Padang. Hasil penelitian itu menyatakan bahwa strukturnya bersesuaian dengan gejala arah matahari dan perbintangan. Sehingga kemungkinan besar susunan batu yang membentuk ruangan persegi dan batu besar di tengahnya adalah sebuah penanda waktu.

Setelah cukup puas mengamati lokasi kolam dan sekitarnya, kami bergegas menuju situs utama. Di situs Gunung Padang, kami disambut oleh pak Nanang yang dengan ramah dan sigap berkomunikasi dengan Mike dengan bahasa Inggris yang cukup baik. Ia menerangkan segala yang ia tahu tentang situs dan hubungannya dengan litofon kepada Mike. Bahkan pak Nanang sempat memperagakan permainan pada batu gamelan. Peragaan ini hanya boleh dilakukan oleh petugas resmi, sedangkan pengunjung tidak diperbolehkan. Maksudnya yaitu agar memperkecil kemungkinan rusaknya artefak kuno itu.

berdiskusi tentang batu gamelan

Dengan beberapa tepukan tangan, batu gamelan yang letaknya berada di teras pertama situs, mampu berbunyi dengan nyaring. Inilah sebuah keunikan nyata yang terdapat di Gunung Padang. Batu gamelan yang berjumlah empat buah semuanya berukuran besar, namun semuanya dapat menghasilkan bunyi yang nyaring seperti logam. Jenis batuan dan kandungan logam yang tinggi di dalamnya menjadikan batu gamelan di lokasi situs mampu berbunyi nyaring ketika dipukul.

Menurut Mike, untuk menghasilkan bunyi nyaring seperti itu diperlukan kondisi tertentu. Selain bahan penyusun batu, batu juga harus disangga oleh penopang pada ukuran tertentu pada kedua sisinya. Ukuran jarak penopang dari ujung sisi memiliki nilai yang relatif sama di setiap situs yang ia temui di beberapa negara sebelumnya. Sampai pada titik ini, kita menemukan sebuah gejala umum yang masih menjadi misteri. Apakah hanya kebetulan atau gejala-gejala itu saling terkait dengan seluruh gejala di negara lain? Kita masih harus menunggu pengungkapannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *