Nafas Riwayat Mesjid Agung Cianjur

Salam Heritage!
Bagi warga Cianjur, siapa yang tak kenal dengan salah satu bangunan bersejarah yang menjadi ikon kota ini. Masjid Agung Cianjur, sesuai dengan namanya berdiri megah di tengah kota, tak jauh dari alun-alun, pendopo, dan kantor pos Cianjur. Dua buah menara menjulang tinggi dan atap prisma bertingkat menjadi ciri khas bangunan terbesar di ibukota Cianjur ini. Usianya kini telah lebih dari 200 tahun dari awal pertama kali dibangun tahun 1810. Meski kini telah mengalami beberapa kali renovasi dan perluasan, nafas sejarahnya masih kental terasa.

Tampak depan Masjid Agung Cianjur (dok. Ilham Nurwansah/cc-by-sa)

Masjid Agung Cianjur tepatnya berada di jalan Siti Jenab No. 14, kelurahan Pamoyanan, kecamatan Cianjur, Kode Pos 43211. Bangunan berorientasi timur-barat dengan pintu utama berada di bagian timur. Terdapat tiga pintu utama untuk masuk para jamaah, yaitu Babussalam (selatan), Babussakinah (utara), Babul Marhamah (Timur).

Bagian interior Mesjid Agung Cianjur (dok. Ilham Nurwansah/cc-by-sa)
Salah satu sudut dalam (dok. Ilham Nurwansah/cc-by-sa)

Setelah mengalami 7 kali renovasi dan perluasan, kini Masjid Agung Cianjur mampu menampung sekitar 4000 jamaah dengan total luas area 2.500 m2. Gaya perpaduan modern dan klasik cukup kental terlihat di luar maupun di dalam masjid. Yang paling khas adalah bentuk atapnya yang mempertahankan model lama. Lain dengan bentuk masjid pada umumya yang berkubah besar, Masjid Agung Cianjur memiliki atap prisma persegi empat bertingkat dengan sebuah kubah kecil di puncaknya.  

Bentuk Masjid Agung Cianjur yang begitu megah hingga meraih predikat sebagai mesjid terbesar di Jawa Barat ini, tentunya memiliki riwayat yang sangat menarik untuk ditelusuri sobat CH. Karena sudah cukup banyak yang membahas sejarah pembangunannya, CH mencoba membahasnya dari sisi lain nih,  yang tentunya masih berkaitan dengan sejarah Masjid Agung Cianjur dari masa ke masa.

Berada di Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan

Java Great Pos Way (Jalan Raya Pos Jawa) (foto: Gunawan Kartapranata via Wikimedia Commons/cc-by-sa)

Pada era Daendels (1808), Cianjur adalah kota yang masuk ke dalam rute De Grote Postweg atau lebih dikenal sebagai Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan. Dari Batavia rute menuju Buitenzorg lalu ke Cianjur, sebelum dilanjutkan ke Bandung. Akses utama Jalan Raya Pos dari arah Puncak ke Cianjur melalui beberapa ruas jalan utama. Rute jalur tersebut di antaranya kini  bernama Jl. Ir. H. Djuanda (Salakopi), Jl. Otista (Pasarean), Jl. Siti Jenab, Jl. Suroso (Bojongherang), dan Jl. Mangun Sarkoro (Jalan Raya). Nama-nama lama jalan tersebut belum terlacak.

Mungkin itu yang menjadi alasan mengapa Jl. Mangun Sarkoro lebih dikenal dengan sebutan Jalan Raya, yang sepertinya mengacu pada sebutan lama “Jalan Raya (Pos),” pada masa Daendels berkuasa. Di sisi kiri-kanan ruas jalan tersebut masih dapat dilihat beberapa bangunan dengan arsitektur kolonial Belanda dan Tionghoa.

Kantor Pos Cianjur tepat di depan Pintu Selatan Masjid Agung Cianjur (dok. Ilham Nurwansah/cc-by-sa)

Karena Masjid Agung Cianjur berlokasi di sisi Jl. Siti Jenab pada jalur pos Anyer-Panarukan, maka keberadaannya menjadi vital sebagai masjid utama penduduk muslim pribumi, maupun para pendatang yang melalui jalan Raya Pos saat singgah di Cianjur. Tepat di sisi selatan mesjid terdapat kantor pos Cianjur yang pernah menjadi kantor pos utama di wilayah Priangan.

Letak Strategis di Pusat Kota
Mesjid Agung Cianjur dapat dikatakan sentral kota Cianjur dari masa ke masa. Bahkan saat ini Mesjid dengan arsitektur perpaduan lokal-modern ini menjadi ikon kota Cianjur. Tak afdol rasanya bila datang ke kota Cianjur tanpa mengunjungi Mesjid Agung Cianjur ini. Letaknya yang tepat berada di pusat kota, menjadikan Mesjid Agung Cianjur sebagai pusat aktifitas keislaman masyarakat setempat. Bahkan, tak hanya masyarakat setempat saja tetapi banyak juga masyarakat dari daerah lain yang menjadikan Mesjid Agung Cianjur sebagai pusat kegiatan  keagamaan Islam.

Masjid Agung berada di sisi barat alun-alun Cianjur (dok. Tropenmuseum)

Tampaknya keadaan demikian tak jauh berbeda pada masa lalu. Tata letak kota sekitar Mesjid Agung Cianjur sejak dahulu belum mengalami banyak perubahan. Tepat di sebelah timur terdapat alun-alun Cianjur dan pasar induk Cianjur sebagai pusat ekonomi masyarakat Cianjur. Di Sebelah Utara dan Barat terdapat  pemukiman warga yang lebih dikenal dengan daerah “Kampung Kaum” atau “Gedong Asem.” 

Luluh-lantak oleh Letusan Gunung Gede
Pada tahun 1879 Gunung Gede meletus, dan dampaknya juga dirasakan oleh Masjid Agung Cianjur hingga bangunan luluh lantak. Dalam peristiwa tersebut merenggut korban yang cukup banyak, salah satunya adalah ulama Cianjur, R.H. Idris bin R.H. Muhyi (Ayah dari KRH Muhammad Nuh, seorang ulama besar Cianjur), yang bertempat tinggal di daerah kampung Kaum Kidul.

Dampak gempa 1879 terhadap Masjid Agung Cianjur (dok. KITLV)

Satu tahun setelah peristiwa letusan Gunung Gede (1880), Mesjid Agung Cianjur kembali dibangun oleh RH Soelaeman, yang pada waktu itu memegang posisi sebagai penghulu Agung bersama RH Ma’mun bin RH Hoessein atau lebih dikenal dengan nama Juragan Guru Waas, juga dibantu oleh masyarakat Cianjur.

Selain pembangunan kembali akibat bencana alam, Mesjid Agung Cianjur juga mengalami beberapa kali renovasi dan perluasan. Meskipun telah beberapa kali mengalami perombakan sepanjang tahun 1950 hingga 1974, bentuk arsitekturnya tetap dipertahankan yaitu bangunan dengan atap persegi.

Adzan Merdu Pembawa Rindu
Di masa lalu, Mesjid Agung Cianjur terkenal oleh kekhasan kumandang adzan yang begitu merdu dari atas menara. Muadzin yang terkenal pada masa itu di antaranya R. Muslihat (Alm), seorang pengurus mesjid dan muadzin tetap Mesjid Agung Cianjur, serta RH Duduh (Alm).

Menara Masjid Agung tahun 80-an (dok. Bayu Suryaningrat)

Meskipun pada waktu itu belum begitu dikenal kumandang adzan bergaya Surabaya atau Yogyakarta, apalagi Mekah di Mesjid Agung Cianjur, ternyata kumandang suara adzan para muadzin tersebut hingga kini belum ada tandingannya. Sampai-sampai pernah ada seorang warga Banten yang selalu ingin mendengarkan kumandang adzan dari R. Muslihat, sehingga ketika ia hendak bepergian menuju Bandung, selalu menyempatkan diri utuk sholat berjamaah di Mesjid Agung Cianjur sambil mendengarkan kemerduan kumandang adzannya. 

Menara Masjid Agung sekarang (dok. Ilham Nurwansah/cc-by-sa)

Nah, itu hanya sekelumit kisah dibalik kemegahan arsitektur Mesjid Agung Cianjur. Masih banyak hal yang belum bisa dituliskan CH mengenai mesjid paling bersejarah di Cianjur ini. Untuk alternatifnya bisa dilihat sumber-sumber lain baik dari buku, atau juga media online lainnya. Kalau masih penasaran, Sobat CH langsung rencanain aja untuk berkunjung ke Mesjid Agung Cianjur ini. Dijamin, tidak dipungut bayaran, alias gratis (kecuali untuk event tertentu). Semoga bermanfaat.

Referensi

  • www.id.wikipedia.org/Mesjid_Agung_Cianjur
  • www.su.wikipedia.org/Masjid_Agung_Cianjur
  • www.cianjurkab.go.id
  • www.cianjurcybercity.com
  • www.duniamasjid.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *