Salam Heritage!
Sobat CH, mungkin kamu pernah mendengar cerita tentang tokoh yang cukup terkenal yang berhubungan dengan sejarah berdirinya Kabupaten Cianjur. Tokoh tersebut biasa dihubung-hubungkan dengan penampilan kesenian arak-arakan Kuda Kosong. Ya, betul sekali tokoh yang dimaksud adalah Eyang Suryakancana salah satu tokoh legendaris yang dipercaya sebagai keturunan bupati Cianjur pertama, Aria Wiratanu I (Dalem Cikundul) atau Raden Jayasasana hasil pernikahan dengan seorang puti Jin.
Sejarah atau Mitos?
Bagi sebagian orang, kisah ini dianggap sejarah dan benar-benar pernah terjadi dalam kenyataan. Sedangkan sebagian lainnya menganggap kisah tersebut hanya mitos dan merupakan simbol-simbol yang harus ditafsirkan lebih mendalam secara filsafat. Meskipun beberapa situs peninggalannya hingga kini masih dapat ditemui di beberapa tempat di wilayah kecamatan Cikalong Kulon, tetapi kebenaran kisah tersebut belum bisa dipastikan melalui pendekatan kesejarahan. Kisah ini memiliki dua versi yang agak berbeda, tetapi tetap sejalan dan menambah khazanah dalam penelusuran sejarah di Kota Cianjur.
So, bagaimana kisah legendaris pernikahan tokoh perintis kabupaten Cianjur ini dengan seorang putri cantik dari bangsa jin? Kita simak versi pertama dari kisah tersebut.
Bupati Nikah jeung Putri Jin (versi 1)
Jayasasana adalah putra sulung dari Raden Aria Wangsa Goparana dari delapan bersaudara. Seluruh putra RA Wangsa goparana tersebut adalah Jayasasana, Wiradiwangsa, Candramanggala, Santaan Kumbang, Yudana Diwangsa, Nawang Candradirana, Santana Yudanagara, dan Nyi Murti. Dimasa kecil mereka semua berkumpul dan hidup di Sagalaherang. Tetapi setelah menginjak usia dewasa Raden Jayasasana atau Wiratanu I diiringi oleh cukup banyak rakyatnya meninggalkan Sagalaherang untuk membuka wilayah baru di sekitar sungai Cikundul. Wilayah tersebut kini berada di dalam wilayah kecamatan Cikalong kulon. Tetapi rakyatnya tersebut tidak berkumpul dalam satu wilayah saja.
Putra sulung Raden Aria Wangsa Goparana, yaitu Pangeran Jayasasana sedari usia remaja telah begitu giat melakukan tarekat, gentur tafakur, dan berpuasa dengan rutin, juga mendalami bab agama Islam persis seperti ayahnya. Selain itu beliau sering juga menyepi dan mengasingkan diri di tempat yang jauh dari keramaian, di tempat yang tersembunyi. Salah satu tempat pertapaannya terdapat di sebuah bukit di Sagalaherang dan di goa Citarum yang terasa begitu menyeramkan. Orang biasa tak akan berani memasuki daerah itu.
Berdasarkan cerita yang telah dikenal dan diwariskan secara turun temurun di kalangan warga Cianjur, Jayasasana yang kemudian lebih dikenal dengan Wiratanu (tanpa gelar Datar), dipercaya sebagai orang sakti yang mampu mengetahui suatu kejadian sebelum terjadi. Betapa tidak, beliau begitu taat mendalami ilmu agama disertai dengan pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari untuk memimpin rakyat dan mengelola negara.
Diceritakan pada suatu hari beliau sedang khusyuk bertirakat di goa Citarum, tiba-tiba didatangi seorang perempuan yang begitu cantik, yang luar biasa memancarkan keindahannya dan mendekati Wiratanu. Perempuan itu mengaku sebagai seorang putri dari negeri jin. Tidak diceritakan proses ikatan cintanya dapat terjalin, namun pada akhirnya putri jin tersebut dinikahi oleh Wiratanu I atau Raden Jayasasana yang sakti mandraguna.
Dari hari pernikahan tersebut mereka dikaruniai tiga orang putra. Putra sulungnya yang sangat terkenal yaitu Suriakancana, kedua Indang Kancana atau Indang Sukaesih, sedangkan putra bungsunya yaitu Andaka Wirusajagat. Ketika mereka kecil diasuh oleh ayahnya di keraton (pendopo). Mereka sering diayun dengan ayunan dari sinjang (kain batik). Tetapi suatu ketika kebetulan suatu hari mereka bertiga hilang dari ayunan, hingga menggemparkan satu negara (kabupaten).
Orang-orang saling bertanya-tanya, kalau putra dalem (bupati) diculik, maka siapa yang menculiknya? Kalau ada yang mengambil, siapakah yang mengambilnya? Tetapi karena seluruh masyarakat telah mengetahui bahwa ibu dari ketiga putra Wiratanu tersebut berasal dari bangsa jin, maka semua orang menujukan sangkaannya ke putri jin tersebut. Tak salah lagi bahwa anak-anak tersebut dibawa oleh ibunya ke alam gaib.
Memang, sang ayah tidak begitu khawatir dengan hilangnya putranya dari padaleman, karena dalam hatinya ia yakin bahwa yang mengambil putranya itu adalah sang ibu, yaitu Nyi Putri Jin. Dan dari semenjak itu, hingga sekarang masyarakat Cianjur percaya bahwa putra Wiratanu I yang menghilang itu masing-masing telah diberi tempat oleh sang Ibu.
Suriakancana mendiami Gunung Gede, Indang Kancana atau Indang Sukaesih mendiami Gunung Direme (Cirebon) bersama dengan Ibunya yang telah menetap di sana. Sedangkan si bungsu mendiami tempat yang agak jauh dari Cianjur, yaitu di Gunung Kumbang Karawang.
sejak ketiga putra Wiratanu I tersebut menghilang, masyarakat Cikundul malahan sampai sekarang memiliki pantangan untuk mengayun anak mereka dengan kain seperti demikian. Tetapi kalau menggunakan kain samping untuk menggendong tidak apa-apa. Kemudian sambil dilantunkan nyanyian agar anak yang digendong itu cepat tidur lelap, begini lagunya:
Ayun ambing ayun ambing
Diayun-ayun ku samping
Ayun umbang, ayun umbang
Diayun-ayun ku sinjang
Bagi warga Cikundul yang akan mengadakan pesta hajatan, harus menyediakan sesajian dan perlengkapannya, suguhan layaknya untuk diberikan kepada kaum ningrat, tidak boleh dianggap remeh. Menurut warga Cikundul khususnya dan masyarakat Cianjur umumnya, malah sebagian warga Sukabumi setelah pesta tersebut selesai, bila diperhatikan dengan seksama, sesaji tersebut telah ada yang hilang, malah sampai habis seluruhnya.
Hal tersebut menandakan yang dihormat dengan suguhan tersebut telah puas hatinya, dan memberikan keselamatan kepada seluruh warga. Bila di suatu pesta besar, dan juga pesta kenegaraan seperti peringatan hari Kemerdekaan RI (Agustusan), HUT pemerintah dan sebagainya selalu diadakan acara arak-arakan, dengan mengarak kuda kosong di urutan terdepan. Tetapi kuda tersebut kelihatan sangat kelelahan dan mulutnya berbusa seperti sedang ditunggangi oleh sesuatu dengan bobot sangat berat.
Menurut kepercayaan, malah bagi orang yang kebetulan pernah melihat, di atas punggung kuda itu ada seorang yang duduk, dengan pakaian yang begitu mewah, tanda seseorang berkedudukan tinggi, yaitu pangeran Suriakancana yang selalu menengok apabila kota sedang menggelar acara, dan rakyat mendapat kebahagiaan, pesta dan keramaian.
Masyarakat Cianjur umumnya mempercayai bahwa cucu dari Sang Wangsa Goparana dari Pangeran Jayasasana dan putri jin itu memang ada. Pengaruhnya cukup kuat sampai ke Sukabumi karena Gunung Gede merupakan kediaman sang Pangeran. Malah di Sukabumi ada sebuah tegalan di bagian atas Batukarut tempat menggembala kuda betina.
Dari cerita sesepuh Batukarut, kuda betina tersebut dibiarkan lepas di tegalan selama seminggu, malah ada yang hanya dua atau tiga hari juga. Tidak ada kuda lainnya, hanya kuda yang dilepas itu saja. Tapi setelah beberapa minggu sejak itu, dapat dilihat bahwa kuda betina itu perutnya buncit menandakan bunting. Selama dilepaskan di tegalan kuda betina itu selalu ditemani oleh kuda jantan gaib. Itulah kuda yang menjadi tunggangan Suriakancana. Begitulah menurut cerita yang dituturkan kembali di daerah Sukabumi. Wallahu alam mengenai kebenarannya.
(Sumber diambil dari Majalah Mangle; diterjemahkan dari bahasa Sunda oleh Ilham Nurwansah)
Nah, itulah cerita yang menjadi kepercayaan sebagian warga Cianjur sejak jaman dulu. Menarik bukan? Di postingan selanjutnya CH akan memuat cerita dengan inti yang sama tetapi memiliki versi yang agak berbeda.
Simak juga kisah Bupati Menikah dengan Jin Versi 2 !
Pemerhati sejarah dan budaya Cianjur, pembaca naskah Sunda kuno, pengulik musik tradisi. Pengguna setia Linux.
[…] rakyat Cianjur, mengenai pernikahan bupati pertama Cianjur yang menikahi putri jin. Kisah pada Versi 1 yaitu dari awal riwayat kedatangan Bupati Cianjur pertama dari daerah Sagalaherang. Pada posting […]